Jumat, 23 Desember 2011

Ekologi, Energi, dan Industri


  1.    . Isu Ekologi
Perluasan dunia secara cepat menghancurkan lingkungan planet tempat kita tinggal. Pengawetan lingkungan fisik dan gerakan lingkungan mengalami kemunduran, dan perbaikan lingkungan harus segera dilakukan.

Dibuatnya kebijakan mengenai lingkungan adalah sebuah keputusan besar dan langkah awal bagi perbaikan lingkungan fisik yang rusak. Perhatian ini menunjukkan bahwa masalah lingkungan perlu dibicarakan, kemudian dicari upaya pemecahannya dalam kebijakan-kebijakan politik.
Kasus lingkungan awalnya bukan merupakan wacana yang menarik dalam geografi politik. Tetapi, setelah banyak korban di berbagai Negara, maka menjadi masalah dunia. Apalagi dampak lingkungan yang tidak mengenai batas wilayah Negara, kawasan lingkungan menjadi bagian dari instrument dalam tatanan politik internasional.
Kerusakan lapisan ozon di atmosfer merangkap panas, menyeimbangkan efek pemanasan dari gas lain yang merangkap panas, yaitu Gas Rumah Kaca ( Green House Gasses ) yang menyebabkan energy panas yang seharusnya dilepaskan ke luar atmosfer bumi, dipantulkan kembali ke permukaan bumi dan menyebabkan temperatur permukaan bumi menjadi lebih panas. Pemanasan global adalah kenaikan suhu permukaan bumi yang disebabkan oleh peningkatan emisi karbondioksida (CO2)  dan gas-gas lain yang dikenal sebagai Gas Rumah Kaca (GRK).
Pemanasan global mengakibatkan pencairan es di daerah kutub yang dapat menenggelamkan sebagian daratan tempat manusia dan makhluk-makhluk hidup darat lainnya. Dalam Protokol Kyoto (1997), beberapa Negara maju sepakat untuk mengurangi jumlah gas CO2 dengan mengurangi pemakaian bahan bakar fosil sebanyak 30% dalam 10 tahun ke depan. Salah satu penyebab pemanasan global adalah aktivitas manusia dalam pengundulan dan pembakaran hutan yang dilakukan secara berlebihan.
The International Centre of Research in Agroforestry (ICRAF), UNESCO, dan European Commission Joint Research Centre mengumpulkan laporan yang memuat latar belakang peristiwa kebakaran penting di kawasan asia Tenggara selama dua dasawarsa terakhir, yaotu pada tahun 1982-1998. Penyebab kebakaran saling terkait satu sama lain.  Kekurangan peraturan formal yang mengatur hak-hak pemilikan umum dan swasta menyebabkan penggunaan api sebagai senjata dalam  konflik-konflik kepemilikan lahan.
Menyadari pentingnya isu lingkungan, maka Negara-negara maju mendengungkan persyaratan ekolabel terhadap sejumlah Negara-negara produsen  yang umumnya adalah Negara berkembang. Dampak positif dari ekolabel terhadap Negara produsen adalah terjaminnya standar produk dan standar linhkungan. Sedangkan dampak negatif dari ekolabel terhadap Negara produsen adalah akan terjadi monopoli oleh Negara-negara maju dan ketatnya ppendistribusian produk, sehingga produk yang berekolabel tidak dapat dipasarkan.
Negara produsen atau Negara berkembang mempunyai cirri penduduknya miskin, dan tingkat pendidikan rendah. Tingkat pendidikan yang rendah akan membuat pengetahuan yang dimiliki penduduk di Negara tersebut terbatas, sehingga tidak dapat mengikuti perkembangan teknologi yang semakin maju.
Lembaga ekolabel Indonesia (LEI), merupakan slah satu kebijakan pemerintah Indonesia sebagai bagian dari upaya mengembangkan Pengelolaan Hutan Lestari di Indonesia yang bekerja secara mandiri, terbuka, memilki kredibilitas tinggi, objektif, transparan, dan demokratis dengan berlandaskan pada keberlanjutan fungsi lingkungan hidup yang telah memperoleh pengakuan internasional, dalam berbagai bentuk kerja sama dengan lembaga-lembaga riset dan universitas di berbagai Negara.
Sebagai contoh, penandatangani sebuah Joint Certification Protokol antara LEI dan Forest Stewardship Council (FSC) untuk sertifikat hutan di Indonesia. Produk kayu bersertifikat yang diekspor dari Indonesia akan mempunyai dua label, yaitu label LEI dan FSC. Dengan mempunyai ekolabel, produk kayu Indonesia mempunyai standar produk dan stndar lingkungan sehingga dapat didistribusikan dan dipasarkan dalam perdagangan internasional.
Bagi perusahaan yang mau bersaing di pasar global, sertifikat ekolabel sangat penting. Jika produksinya ingin laku dipasaran mak akan berusaha agar perusahaannya memperoleh sertifikat ranah lingkungan. Pada proses sertifikasi tim audit dari lembaga sertifikasi ramah lingkungan akan memeriksa perusahaan tersebut mulai dari pemeriksaan bahan baku, proses, dan apakah limbah pabriknya mencemari lingkungan atau tidak. Jika kedapatan perusahaan membuang limbah dan mencemari maka jangan harap akan memoeroleh sertifikat ramah lingkungan.
Hal yang mungkin diwaspadai dalam pemberian ekolabel kaitannya dengan perdagangan bebas dunia (WTO) yang penting adalah bahwa praktik pemberian label tersebut tidak menimbulkan diskriminasi baik diantara Negara anggota (prinsip most favoured nation) maupun antara barang dan jasa yang diproduksi di dalam negeri dengan yang diimpor (perlakuan nasional). Semakin kompleks dan beragamnya ketentuan pemberian ekolabel telah menyebabkan produk-produk Negara-negara berkembang, terutama yang dihasilkan oleh usaha kecil dan menengah, mengalami kesulitan untuk bersaing di pasar-pasar ekspor. Jika standar internasional bagi ketentuan ekolabel memiliki dampak yang cukup berkembang berada pada posisi yang tidak menguntungkan. Kondisi ini disebabbkan oleh kurangnya partisipasi Negara berkembang dalam proses standarisasi.    
  1. Isu Energi
Energi sangat dibutuhkan dan harus senantiasa tersedia, karena energy merupakan salah satu sumber kehidupan. Energi sangat berguna untuk kesejahteraan hidup manusia. Energy dapat berasal dari tenaga nuklir, tenaga air, minyak bumi, gas alam, panas bumi, batubara, dan lain-lain.
Akhir-akhir ini isu-isu energi semakin kuat. Hal ini disebabkan oleh pemborosan dan tingkat pemakaian yang sangat tinggi. Karena itu anjuran untuk melakukan penghematan dalam pemakaian, dan sangat dinanti atau dicari alternatif sumber energi. Untuk itu, beberapa Negara maju atau negara industri telah mencoba mengambangkan metode dan teknologi dalam rangka memanfaatkan sumber-sumber energy alternatif, terutama sumber energi terbarukan dan ramah lingkungan.
Isu energy yang paling utama adalah besarnya konsumsi minyak bumi. Minyak bumi merupakan energi hasil pengolahan senyawa hidrokarbon yang diperoleh dari bahan fosil hewan laut (plankton) yang terpendam di dalam bumi selama jutaan tahun, dan kini semakin tipis keberadaannya. Krisis minyak bumi sangat berpengaruh bagi kelangsungan suatu negara, terutama negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan negara-negara di Eropa yang tingkat ketergantungannya terhadap minyak bumi sebagai bahan bakar sangat tinggi, bahkan digunakan sebagai senjata politik.
Krisis minyak bumi yang terjadi pada tahun 1973-1974 membuat panik negara-negara Barat. Politik minyak telah muncul sejak tahun 1950-an dan 1960-an yang hasilnya melahirkan sebuah pemikiran baru bagi perindustrian di seluruh dunia. Berbagai upaya dilakukan untuk mencegah perambatan pada krisis lainnya. Negara-negara Barat terutama Amerika Serikat, melancarkan upaya pengawetan energia alternatif, serta membuat strategi untuk cadangan minyak dan mengintensifkan pencarian sumber-sumber minyak baru sampai ke lepas pantai dan dasar laut. Akan tetapi, upaya pencarian sumber energi alternatif berjalan sangat lambat, bahkan hampir berhenti yang pada akhirnya diambil langkah untuk menguasai negara-negara yang mempunyai banyak persedian minyak bumi, terutama negara-negara di Timur Tengah seperti Iran, Afghanistan, Irak, dan Saudi Arabia.
Menurut Shoelhi (2007), sebagai salah satu bentuk upaya amerika Serikat untuk dapat memperoleh minyak bumi adalah dengan merekayasa tragedy runtuhnya gedung World Trade Center  (WTC) untuk membuka legalitas Amerika Serikat agar dapat menyerang Afghanistan dang mengeruk minyak bumi di sana. Minyak bumi Amerika Serikat dipasok dari negara-negara yang tergabung dalam organisasi negara-negara pengekspor minyak bumi (OPEC).
Gambaran saat ini menunjukkan bahwa sebagian besar negara berkembang berperan sebagai pengekspor minyak bumi dan tergabung dalam OPEC. Negara-negara berkembang tidak pernah khawatir akan persediaan sumber energi, mereka menginvestasikan penjualan hasil bumi, terutama minyak bumi untuk industrialisasi dan modernisasi.
Negara-negara berkembang yang bukan pengekspor minyak bumi saat ini memenuhi kebutuhan energinya dengan menggunakan persediaan kayu local, kotoran hewan, sampah-sampah pertanian, dan batubara untuk pembakaran sebagai bahan bakar organik. Selain itu, bahan-bahan ini juga dapat dipergunakan sebagai pupuk, bahan kimia dan bahan mentah industri.
Untuk mengatasi krisis energi minyak bumi, banyak negara yang melirik tenaga nuklir sebagai sumber energi alternatif. Teknologi nuklir dimulai pada perlombaan senjata di antara negara-negara besar pada Perang Dunia II yang berakhir dengan luluh lantaknya dua kota industri di Jepang, yaitu Hiroshima dan Nagasika pada tahun 1945 oleh senjata nuklir Amerika Serikat. Akibat tragedi tersebut, timbullah keinginan masyarakat internasional untuk menciptakan dunia yang bebas dari senjata pemusnah masal. Namun selama kurang dari 60 tahun terakhir, nuklir mulai dilirik kembali dengan tujuan untuk kesejahteraan. Dengan adanya isu baru ini, berkembang dua isu utama, yaitu pertama, hak pengembangan ilmu dan teknologi serta pemenuhan kebutuhan energy untuk kesehteraan. Tapi pada isu kedua berkaitan dengan kepentingan politik yaitu ada kekhawatiran pemanfaatan energi nuklir untuk kepentingan produksi senjata.
Berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan energi, di mana nuklir dapat menjadi salah satu alternatif sumber energi sejak lama telah dikembangkan oleh negara-negara di dunia seperti Amerika Serikat, Rusia, Inggris, Perancis, Republik Rakyat Cina, Korea Utara, India, dan Pakistan serta Israel yang dipercayai senjata nuklir walaupun tidak diuji, dan Israel tidak mau mengkonfirmasi. Teknologi nuklir mempunyai banyak kegunaan di bidang sipil, non militer yang dipergunakan untuk pembangkit listrik tenaga nuklir, aktivasi industri, menunjang bidang kedokteran dalam proses diagnosis dan penyembuhan beberapa penyakit.
Walaupun nuklir telah banyak dikembangkan oleh banyak Negara, tetapi berbeda dengan kasus Iran. Pengembangan nuklir oleh Iran menimbulkan kontroversi bahwa menjadi wacan global. Rusia merupakan salah satu Negara yang mendukung dan member bantuan kepada proyek pembangunan stasiun Boushehr atas perjanjian yang mengatakan bahwa Iran berjanji akan mengembalikan bahan bakar yang dihabiskan untuk rencana tersebut pada Rusia. Sedangkan amerika Serikat dan 35 negara Eropa menolak memberikan bantuan proyek nuklir Iran dengan alas an mewaspadai kekhawatiran diciptakannya kembali senjata pemusnah masal yang akan menagkibatkan tragedi kemanusian yang memilukan.
Untuk itu, demi keamanan dan perdamaian dunia, negara-negara yang menolak pembangunan Stasiun Boushehr mengadukan permaslahan ini ke PBB dan meminta PBB untuk menindaklanjuti agar proyek nuklir Iran dihentikan. Padahal dibalik semua itu, memuat kepentingan politik bahwa negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan negara-negara di Eropa ingin menguasai negara-negara di timur Tengah termasuk Iran untuk diambil hasil buminya, terutama minyak bumi yang sangat vital sebagai bahan bakar untuk menjalankan roda kehidupan. Jika Iran memiliki senjata nuklir maka mereka tidak akan semena-mena mengangkangi Timur Tengah.
  1. ISU RELOKASI INDUSTRI
Peningkatan jumlah penduduk telah member tekanan terhadap sumber daya yang terbatas, yaitu lahan dan penggunaannya telah mencapai pada tingkat keperhatinan dan pemulihannya membutuhkan waktu yang lama. Maksudnya pemilikan lahan di seluruh Negara di dunia telah menjadi suatu permasalahan yang upaya pemecahannya mungkin tidak dapat di lakukan dengan segerah. Pada Negara komunis, penataan lahan kepemilikan lahan harus di bagikan secara merata, sehingga terjadi keadilan dalam pembagian lahan menurut pandangan mereka.
Salah satu dari masalah yang paling dalam penggunaan lahan adalah mengenai penetapan wilayah. Di lihat dari sudut pandang politik, penentuan wilayah menyebar dengan cepat dalam suatu Negara. Suatu kawasan pinggiran yang umumnya masih lahan pertanian dapat beralih fungsi menjadi kawasan industry. Alih fungsi lahan ini dapat menimbulkan dampak positif dan negatif. Dampak positif yang dapat di peroleh adalah berkurangnya pengangguran, karena industrialisasi akan menyeraf banyak tenaga kerja dan meningkatkan taraf hidup masyarakat di sekitarnya. Sedangkan dampak negatifnya berupa semakin meyempitnya lahan pertanian sehingga para petani tidak mempunyai perkerjaan untuk menggarap lahan. Mereka beralih profesi pada perkerjaan lain dan memutuskan untuk berurbanisasi ke kota demi memperoleh perkerjaan yang lebih baik.
Untuk menyediakan bahan baku yang murah dengan pasar yang lebih luas maka muncul gagasan relokasi industri di Negara-negara berkembang. Relokasi industry adalah perpindahan atau pemindahan lokasi industri dari Negara maju ke Negara berkembang dengan alas an menekankan upah buruh. Negara maju biasanya melakukan relokasi industri adalah Amerika serikat, Jerman, Jepang, Perancis, Korea dan sebagainya. Sedangkan Negara yang menerima relokasi industry adalah Cina, India, Indonesia, Thailand, Vietnam, Meksiko dan lain-lain. Relokasi industry dapat menimbulkan dampak positif dan dampak negatif  baik Negara maju yang melakukan relokasi industry maupun bagi Negara berkembang yang menerima relokasi industry.
Dampak negatif dan positif  bagi Negara maju yang melakukan relokasi industry antara lain:
1.      Industri kecil yang di pindahkan menjadi lambat berkembang.
2.      Lapangan perkerjaan semakin berkurang karena adanya pemindahan lokasi pabrik tampa disertai pemindahan pekerja.
3.      Pendapatan Negara maju akan berkurang.
4.      Lokasi pemasaran untuk memasarkan produk baik barang maupun jasa akan semakin meluas
5.      Usaha bisnis yang melakukan relokasi akan semakinluas dan maju.
6.      Membayar upah buruh yang lebih murah dari pada Negara asal.
Dampak positif dan negatif bagi Negara berkembang yang menerima relokasi industry antara lain:
1.      Lapangan kerja bertambah.
2.      Modal secara langsung.
3.      Pendapatan Negara dari pajak pendapatan per kapital penduduk dari upah atau gaji bertambah.
4.      Alih teknologi dari Negara maju ke Negara bekembang.
5.      Menimbulkan persaingan yang akan mematikan industri yang sama di dalam negeri.
6.      Masuknya budaya baru yang bertentangan dengan budaya lokal.
7.      Sebagian besar keuntungan yang diperoleh bisnis asing tersebut akan lari ke luar negeri.

Relokasi industri sebenarnya memiliki niatan yang baik juga, yaitu adanya usaha alih teknologi. Menurut Gunadi (2001), investasi dan alih teknologi antar Negara dapat berdemensi ganda yaitu dapat menimbulkan dampak positif dan sekaligus dampak negatif. Hal yang positif, relokasi industri di mana dapat mendorong kemajuan, kemakmuran, dan modernisasi yang berbasis investasi pada teknologi dan komunikasi di seluruh belahan dunia. Namun pada sisi negatifnya dapat menimbulkan gangguan terhadap tatanan social dan politik serta prasarana kebudayaan pada komunitas masyarakat tertentu, misalnyabidang ekonomi dapat “membangkrutkan” perusahaan kecil dan petani local yang tidak mampu bersaing di pasar internasional.
                  Lie Chen le dan Gunadi (2001) menegaskan bahwa proses relokasi industri banyak sekali member peluang untuk terakumulasinya kapital, sumber daya manusia yang merata untuk seluruh dunia, tanpa membedakan dunia pertama atau ketiga. Dalam pandangan yang positif ini, hendaknya di sikapi dengan mencoba merangkai jalinan  kreatif untuk kebersamaan menghadapinya. Di negara-negara yang memiliki pusat industry maju dan telah menghasilkan produk terbaiknya, dapat disebarluaskan dan dapat di nikmati oleh seluruh masyarakat di pelosok negeri atau industry tersebut direlokasikandi Negara berkembang sehingga bagi kedua Negara yang berkerja sama tersebut dapat mendapatkan keuntungan, aktivitas produksi dapat di kembangkan di Negara berkembang, dapat menyerap tenaga kerja dan meningkatkan kesejatraan
      Dalam prakteknya memang terjadi ketidak seimbangan antara kepentingan-kepentingan Negara kaya dan industry besar di suatu pihak dan kpentingan di Negara berkembang. Hal ini menimbulkan frustasi dan munculnya berbagai ekses akibat relokasi industry secara global. Perusahaan-perusahaan Negara industry yang beroprasi di dunia ketiga yang seharusnya memikul tanggung jawab mendidik , melatih  penduduk setempat untuk meningkatkan daya kerja dan pengetahuan yang terkait dengan produksi pada kenyataannya perusahaan-perusahaan tersebut hanya mengeruk kekayaan, memanfaatkan fasilitas dan memperhatikan tanggung jawab dan buruh yang ada di Negara berkembang, hal tersebutlah salah satu kepincangan besar dari proses globalisasi.
Karena relokasi industri dan juga globalisasi tidak dapat di hindari, respons yang terbaik untuk  menyongsong globalisasi tersebut adalah bagaimana masyarakat dunia ketiga dapat belajar dari Negara-negara maju ketika mereka merelokasikan modalnya di Negara dunia ketiga, seperti dengan ikut megang atau praktek kerja dan bagai mana cara mereka meningkatkan kompetensi, kinerja, dan produktivitasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar