A.
Pemikiran Pemikiran Filsafat
- Humanisme
Humanisme adalah paham
filsafat yang menjunjung tinggi nilai dan kedudukan manusia serta menjadikannya
sebagai kriteria segala sesuatu. Dengan kata lain, humanisme menjadikan
tabiat manusia beserta batas-batas dan kecenderungan alamiah manusia sebagai
obyek. Pada arti awalnya, humanisme merupakan sebuah konsep monumental
yang menjadi aspek fundamental bagi Renaisans, yaitu aspek yang di
jadikan para pemikir sebagai pegangan untuk mempelajari kesempurnaan manusia di
alam natural dan di dalam sejarah sekaligus meriset interpretasi manusia
tentang ini. Istilah humanisme dalam pengertian ini adalah derivat dari
kata-kata humanitas yang pada zaman Cicero dan Varro berarti pengajaran masalah-masalah
yang oleh orang-orang Yunani disebut paidea yang berarti kebudayaan.
Pada zaman Yunani kuno
pendidikan dilakukan sebagai seni-seni bebas, dan ketentuan ini dipandang layak
hanya untuk manusia karena manusia berbeda dengan semua binatang. Di bawah
komando keluarga Medici atau setidaknya pada zaman merekalah para humanis mulai
menarik perhatian dan mewarnai opini masyarakat Italia. Kaum humanis menggiring
perhatian rakyat dari agama ke filsafat dan dari langit ke bumi. Kekayaan
pikiran dan seni masa-masa kesyirikan dikembalikan kepada sebuah generasi yang
terpukau. Sejak zaman Ariosto Ludovico, orang-orang yang gila ilmu pengetahuan
ini mulai tenar dengan nama kaum humanis, sebab mereka membaca telaah
kebudayaan klasik tentang humanitas (berkaitan dengan dunia manusia) atau
humanuras (kesusasteraan yang lebih manusiawi, dan bukan berarti kesusasteraan
yang lebih berprikemanusiaan, melainkan berarti kesusasteraan yang lebih banyak
berkaitan dengan dunia manusia). Jadi, tema kajian yang paling tepat ialah
manusia itu sendiri dengan kemampuan yang terpendam di dalam dirinya, dan
keindahan jasmani dengan segala kesenangan dan penderitaan panca indera dan
perasaannya dan dengan segala kekuatan akalnya yang menakjubkan. Poin-poin
inilah yang mendapat perhatian penuh seperti yang pernah terjadi dalam
kesusasteraan dan seni Yunani dan Romawi kuno.
Ideologi-ideologi dibawah
ini adalah ajaran-ajaran yang terbentuk berdasarkan paham humanisme:
1.
Komunisme, karena di dalam ideologi ini
humanisme bisa menghapus keterasingan
manusia dari dirinya akibat kepemilikan swasta dan sistem masyarakat
kapitalisme.
2.
Pragmatisme, karena pandangan yang menjadikan
manusia sebagai orientasi, sebagaimana pandangan Protagoras, telah menjadikan
manusia sebagai kriteria segala sesuatu.
3.
Eksistensialisme yang telah memberikan
argumentasi bahwa tidak ada satupun alam yang sebanding dengan alam
subyektivitas manusia.
Dengan demikian, sebagian
besar ajaran filsafat panca Renaisans secara mendasar telah dipengaruhi pikiran
humanistik. Contohnya, komunisme yang sebagian besar pandangannya
tertuangkan kepada masalah kerakyatan, pragmatisme yang ajarannya bersandarkan
kepada esensi perbuatan manusia, personalisme yang meyakini spirit manusia
memiliki daya pengaruh yang terbesar, dan eksistensialisme yang banyak
memberikan penekanan kepada wujud aktual manusia, semuanya memandang manusia
sebagai satu wujud yang bertumpu pada esensinya sendiri serta wujud dimana
dirinya adalah pelaku dan tujuannya sendiri.
- Rasionalisme
Aliran rasionalisme dipelopori
oleh Rene Descartes (1596-1650 M). Dalam buku Discourse de la Methode
tahun 1637 ia menegaskan perlunya ada metode yang jitu sebagai dasar kokoh bagi
semua pengetahuan, yaitu dengan menyangsikan segalanya, secara metodis.
Kalau suatu kebenaran tahan terhadap ujian kesangsian yang radikal ini, maka
kebenaran itu 100% pasti dan menjadi landasan bagi seluruh
pengetahuan. Tetapi dalam rangka kesangsian yang metodis ini ternyata
hanya ada satu hal yang tidak dapat diragukan, yaitu “saya ragu-ragu”. Ini
bukan khayalan, tetapi kenyataan, bahwa “aku ragu-ragu”. Jika aku
menyangsikan sesuatu, aku menyadari bahwa aku menyangsikan adanya.
Dengan lain kata kesangsian itu langsung menyatakan adanya aku. Itulah “cogito
ergo sum”, aku berpikir (= menyadari) maka aku ada. Itulah kebenaran yang
tidak dapat disangkal lagi. — Mengapa kebenaran itu pasti? Sebab
aku mengerti itu dengan “jelas, dan terpilah-pilah” — “clearly and distinctly”,
“clara et distincta”. Artinya, yang jelas dan terpilah-pilah itulah yang
harus diterima sebagai benar. Dan itu menjadi norma Descartes dalam
menentukan kebenaran.
Descartes menerima 3
realitas atau substansi bawaan, yang sudah ada sejak kita lahir, yaitu (1)
realitas pikiran (res cogitan), (2) realitas perluasan (res extensa, “extention”)
atau materi, dan (3) Tuhan (sebagai Wujud yang seluruhnya sempurna, penyebab
sempurna dari kedua realitas itu).
Pikiran sesungguhnya
adalah kesadaran, tidak mengambil ruang dan tak dapat dibagi-bagi menjadi
bagian yang lebih kecil. Materi adalah keluasan, mengambil tempat dan
dapat dibagi-bagi, dan tak memiliki kesadaran. Kedua substansi berasal dari
Tuhan, sebab hanya Tuhan sajalah yang ada tanpa tergantung pada apapun juga.
Descartes adalah seorang dualis, menerapkan pembagian tegas antara realitas
pikiran dan realitas yang meluas. Manusia memiliki keduanya, sedang binatang
hanya memiliki realitas keluasan: manusia memiliki badan sebagaimana binatang,
dan memiliki pikiran sebagaimana malaikat. Binatang adalah mesin otomat,
bekerja mekanistik, sedang manusia adalah mesin otomat yang sempurna, karena
dari pikirannya ia memiliki kecerdasan. (Mesin otomat jaman sekarang adalah
komputer yang tampak seperti memiliki kecerdasan buatan). Descartes adalah
pelopor kaum rasionalis, yaitu mereka yang percaya bahwa dasar semua
pengetahuan ada dalam pikiran.
- Positifisme
Aliran filsafat yang lain
adalah Positivisme. Dasar-dasar filsafat ini dibangun oleh Saint Simon dan
dikembangkan oleh Auguste Comte (1798-1857). Ia menyatakan bahwa pengetahuan
manusia berkembang secara evolusi dalam tiga tahap, yaitu teologis, metafisik,
dan positif.
Pengetahuan positif
merupakan puncak pengetahuan manusia yang disebutnya sebagai pengetahuan
ilmiah. Sesuai dengan pandangan tersebut kebenaran metafisik yang diperoleh
dalam metafisika ditolak, karena kebenarannya sulit dibuktikan dalam
kenyataan.Auguste Comte mencoba mengembangkan Positivisme ke dalam agama atau
sebagai pengganti agama. Hal ini terbukti dengan didirikannya Positive
Societies di berbagai tempat yang memuja kemanusiaan sebagai ganti memuja
Tuhan. Perkembangan selanjutnya dari aliran ini melahirkan aliran yang bertumpu
kepada isi dan fakta-fakta yang bersifat materi, yang dikenal dengan
Materialisme.
- Empirisme
Aliran empririsme nyata
dalam pemikiran David Hume (1711-1776), yang memilih pengalaman sebagai sumber
utama pengetahuan. Pengalaman itu dapat yang bersifat lahirilah (yang
menyangkut dunia), maupun yang batiniah (yang menyangkut pribadi manusia). Oleh
karena itu pengenalan inderawi merupakan bentuk pengenalan yang paling jelas
dan sempurna. Dua hal dicermati oleh Hume, yaitu substansi dan kausalitas.
Hume tidak menerima substansi, sebab yang dialami hanya kesan-kesan saja
tentang beberapa ciri yang selalu ada bersama-sama.
Dari kesan muncul gagasan.
Kesan adalah hasil penginderaan langsung, sedang gagasan adalah ingatan akan
kesan-kesan seperti itu. Misal kualami kesan: putih, licin, ringan, tipis. Atas
dasar pengalaman itu tidak dapat disimpulkan, bahwa ada substansi tetap yang
misalnya disebut kertas, yang memiliki ciri-ciri tadi. Bahwa di dunia ada
realitas kertas, diterima oleh Hume. Namun dari kesan itu mengapa muncul
gagasan kertas, dan bukan yang lainnya? Bagi Hume, “aku” tidak lain hanyalah “a
bundle or collection of perceptions (= kesadaran tertentu)”.
Jika gejala tertentu
diikuti oleh gejala lainnya, misal batu yang disinari matahari menjadi panas,
kesimpulan itu tidak berdasarkan pengalaman. Pengalaman hanya memberi
kita urutan gejala, tetapi tidak memperlihatkan kepada kita urutan sebab-akibat.
Yang disebut kepastian hanya mengungkapkan harapan kita saja dan tidak boleh
dimengerti lebih dari “probable” (berpeluang). Maka Hume menolak
kausalitas, sebab harapan bahwa sesuatu mengikuti yang lain tidak melekat
pada hal-hal itu sendiri, namun hanya dalam gagasan kita. Hukum alam
adalah hukum alam. Jika kita bicara tentang “hukum alam” atau
“sebab-akibat”, sebenarnya kita membicarakan apa yang kita harapkan, yang
merupakan gagasan kita saja, yang lebih didikte oleh kebiasaan atau perasaan kita
saja. Hume merupakan pelopor para empirisis, yang percaya bahwa seluruh
pengetahuan tentang dunia berasal dari indera. Menurut Hume ada
batasan-batasan yang tegas tentang bagaimana kesimpulan dapat diambil melalui
persepsi indera kita.
- Science / Ilmu Pengetahuan
‘Science’
merupakan bagian dari himpunan informasi yang termasuk dalam pengetahuan
ilmiah, dan berisikan informasi yang memberikan gambaran tentang struktur dari
sistem-sistem serta penjelasan tentang pola-laku sistem-sistem tersebut. Sistem
yang dimaksud dapat berupa sistem alami, maupun sistem yang merupakan rekaan
pemikiran manusia mengenai pola laku hubungan dalamtatanan kehidupan masyarakat
yang diinstitusionalisasikan.
Dalam bahasa
Inggris dapat dirumuskan sebagai berikut: ‘Science is a sub-set of the
information set on [human] scientific knowledge that describes the structure of
systems and provides explanation on their behavioural patterns, wether natural
or human institutionalized ones’. Pergerakan yang dialami oleh
pengetahuan sederhana menuju pada pembenaran ilmu pengetahuan sehingga menjadi
ilmu pengetahuan diperlukan sebuah landasan dan proses sehingga ilmu
pengetahuan (science atau sains) dapat dibangun. Landasan dan proses
pembangunan ilmu pengetahuan itu merupakan sebuah penilaian (judgement) yang
dilibatkan pada proses pembangunan ilmu pengetahuan (Ash-Shadr 1995).
Dalam
pembangungan ilmu pengetahuan juga diperlukan beberapa tiang penyangga agar
ilmu pengetahuan dapat menjadi sebuah paham yang mengandung makna
universalitas. Beberapa tiang penyangga dalam pembangunan ilmu pengetahuan itu
sebenarnya berupa penilaian yang terdiri dari ontologi, epistemologi dan
aksiologi (Jujun 1990: 2). Perlunya penilaian dalam pembangunan ilmu
pengetahuan alasannya adalah agar pembenaran yang dilakukan terhadap ilmu
pengetahuan dapat diterima sebagai pembenaran secara umum.
Sampai sejauh
ini, didunia akademik anutan pembenaran ilmu pengetahuan dilandaskan pada
proses berpikir secara ilmiah. Oleh karena itu, proses berpikir di dunia ilmiah
mempunyai cara-cara tersendiri sehingga dapat dijadikan pembeda dengan proses
berpikir yang ada diluar dunia ilmiah. Dengan alasan itu berpikir ilmiah dalam
ilmu pengetahuan harus mengikuti cara filsafat pengetahuan atau epistemologi,
sementara dalam epistemologi dasar yang menjiwai dinamika proses kegiatan
memperoleh pengetahuan secara ilmiah disebut filsafat ilmu (Didi 1997:
3).
C.
Peran Filsafat Ilmu dalam Ilmu Pengetahuan
Menurut Didi
(1997) ilmu pengetahuan (dalam hal ini pengetahuan ilmiah) harus diperoleh
dengan cara sadar, melakukan sesuatu tehadap objek, didasarkan pada suatu
sistem, prosesnya menggunakan cara yang lazim, mengikuti metode serta
melakukannya dengan cara berurutan yang kemudian diakhiri dengan verifikasi
atau pemeriksaan tentang kebenaran ilmiahnya (kesahihan).
Dengan demikian
pendekatan filsafat ilmu mempunyai implikasi pada sistematika pengetahuan
sehingga memerlukan prosedur, harus memenuhi aspek metodologi, bersifat teknis
dan normatif akademik. Pada kenyataannya filsafat ilmu mengalami perkembangan
dari waktu ke waktu, perkembangannya seiring dengan pemikiran tertinggi yang
dicapai manusia. Oleh karena itu filsafat sains modern yang ada sekarang
merupakan output perkembangan filsafat ilmu terkini yang telah dihasilkan oleh
pemikiran manusia.
Filsafat ilmu
dalam perkembangannya dipengaruhi oleh pemikiran yang dipakai dalam membangun
ilmu pengetahuan, tokoh pemikir dalam filsafat ilmu yang telah mempengaruhi
pemikiran sains modern yaitu Rene Descartes (aliran rasionalitas) (Herman 1999)
dan John Locke (aliran empirikal) (Ash-Shadr 1995) yang telah meletakkan dasar
rasionalitas dan empirisme pada proses berpikir. Kemampuan rasional dalam
proses berpikir dipergunakan sebagai alat penggali empiris sehingga
terselenggara proses “create” ilmu pengetahuan (Hidajat 1984a). Akumulasi
penelaahan empiris dengan menggunakan rasionalitas yang dikemas melalui
metodologi diharapkan dapat menghasilkan dan memperkuat ilmu pengetahuan
menjadi semakin rasional.
Akan tetapi,
salah satu kelemahan dalam cara berpikir ilmiah adalah justru terletak pada
penafsiran cara berpikir ilmiah sebagai cara berpikir rasional, sehingga dalam
pandangan yang dangkal akan mengalami kesukaran membedakan pengetahuan ilmiah
dengan pengetahuan yang rasional.
Oleh sebab itu,
hakikat berpikir rasional sebenarnya merupakan sebagian dari berpikir ilmiah
sehingga kecenderungan berpikir rasional ini menyebabkan ketidakmampuan
menghasilkan jawaban yang dapat dipercaya secara keilmuan melainkan berhenti
pada hipotesis yang merupakan jawaban sementara. Kalau sebelumnya terdapat
kecenderungan berpikir secara rasional, maka dengan meningkatnya intensitas
penelitian maka kecenderungan berpikir rasional ini akan beralih pada
kecenderungan berpikir secara empiris.
Dengan demikian
penggabungan cara berpikir rasional dan cara berpikir empiris yang selanjutnya
dipakai dalam penelitian ilmiah hakikatnya merupakan implementasi dari metode
ilmiah (Jujun 1990). Berdasarkan terminologi, empiris mempunyai pengertian
sesuatu yang berdasarkan pemerhatian atau eksperimen, bukan teori (Kamus Dewan
1994: 336) atau sesuatu yang berdasarkan pengalaman (terutama yang diperoleh
dari penemuan, percobaan, pengamatan yang telah dilakukan) (Kamus Besar Bahasa
Indonesia: 1995:262).
Dengan demikian
sesuatu yang empiris itu sangat tergantung kepada fakta (sesuatu yang benar dan
dapat dibuktikan), hanya saja fakta yang dibuktikan melalui penginderaan dalam
dunia nyata bukanlah fakta yang sudah sempurna telah diamati, melainkan
penafsiran dari sebagian pengamatan. Terjadinya sebagian pengamatan pada fakta
disebabkan oleh pengamatan manusia yang tidak sempurna sehingga mengakibatkan
semua penafsiran manusia mengandung penambahan yang mungkin berubah dengan
berubahnya pengamatan (Khan 1983).
Rasional
mempunyai pengertian sesuatu yang berdasarkan pertimbangan atau pikiran yang wajar, waras (Kamus Dewan 1994:
1107) atau sesuatu yang dihasilkan menurut pikiran dan timbangan yang logis,
menurut pikiran yang sehat, cocok dengan akal, menurut rasio, menurut nisbah
(patut) (Kamus Besar Bahasa Indonesia: 1995:820).
Dengan demikian
rasionalitas mencakup dua sumber pengetahuan, yaitu; pertama, penginderaan
(sensasi) dan kedua, sifat alami (fitrah) (Ash-Shadr 1995: 29). Implikasi dari
sensasi dan fitrah di atas bisa berpengaruh pada bentuk pemahaman rasional
sebagai pandangan yang menyatakan bahwa pengetahuan tidak hanya didapatkan dari
proses penginderaan saja, karena proses penginderaan hanya merupakan upaya
memahami empirikal.
Sementara,
pemahaman rasional mengandung makna bahwa akal manusia memiliki
pengertian-pengertian dan pengetahuan-pengetahuan yang tidak muncul dari hasil
penginderaan saja. Kematangan berpikir ilmiah sangat ditentukan oleh
kematangan berpikir rasional dan berpikir empiris yang didasarkan pada fakta (objektif),
karena kematangan itu mempunyai dampak pada kualitas ilmu pengetahuan. Sehingga
jika berpikir ilmiah tidak dilandasi oleh rasionalisme, empirisme dan
objektivitas maka berpikir itu tidak dapat dikatakan suatu proses berpikir
ilmiah.
Karena itu
sesuatu yang memiliki citra rasional, empiris dan objektif dalam ilmu
pengetahuan dipandang menjamin kebenarannya, dengan demikian rasionalisme,
empirisme dan objektivitas merupakan dogma dalam ilmu pengetahuan (Hidajat
1984b). Dogma yaitu kepercayaan atau sistem kepercayaan yang dianggap
benar dan seharusnya dapat diterima oleh orang ramai tanpa sebarang pertikaian
atau pokok ajaran yang harus diterima sebagai hal yang benar dan baik, tidak
boleh dibantah dan diragukan. Paradigma ialah lingkungan atau batasan pemikiran
pada sesuatu masa yang dipengaruhi oleh pengalaman, pengetahuan, kemahiran, dan
kesadaran yang ada atau model dalam ilmu pengetahuan, kerangka berpikir (Kamus
Dewan 1994: 311 & 978) dan (Kamus Umum Bahasa Indonesia 1995: 239 &
729).
Dari terminologi
di atas dogma dan paradigma sebenarnya mempunyai kaitan makna, karena paradigma
merupakan kata lain dari paradogma atau dogma primer. Dogma primer ialah
prinsip dasar dan landasan aksiom yang kadar kebenarannya sudah tidak
dipertanyakan lagi, karena sudah self evident atau benar dengan sendirinya
(Hidajat 1984a). Akibatnya dari kebutuhan terhadap adanya paradigma dalam
membangun ilmu pengetahuan (sains) membawa dampak pada kebutuhan adanya
rasionalisme, empirisme dan objektivitas. Artinya, apabila pengetahuan yang
dibangun dan dikembangkan tidak memenuhi aspek rasional, empirikal dan objektif
maka kebenaran pengetahuannya perlu dipertanyakan lagi atau tidak mempunyai
kesahihan.
Oleh karena itu
membangun ilmu pengetahuan diperlukan konsistensi yang terus berpegang pada
paradigma yang membentuknya. Kearifan memperbaiki paradigma ilmu
pengetahuan nampaknya sangat diperlukan agar ilmu pengetahuan seiring dengan
tantangan zaman, karena ilmu pengetahuan tidak hidup dengan dirinya sendiri,
tetapi harus mempunyai manfaat kepada kehidupan dunia. Oleh karena itu kita
tidak bisa mengatakan ilmu pengetahuan dapat berkembang oleh dirinya sendiri,
jika kita memilih berpikir seperti itu maka sebenarnya kita telah berupaya
memperlebar jurang ketidakmampuan ilmu pengetahuan menjawab permasalahan
kehidupan.
Hal ini perlu
dipahami secara bijak karena permasalahan kehidupan saat ini sudah mencapai
pada suatu keadaan yang kritis, yaitu krisis yang kompleks dan multidimensi
(intlektual, moral dan spiritual) yang berdampak pada seluruh aspek kehidupan
(Capra 1999). Dengan demikian jika kita mempertanyakan penyesuaian apa yang
dapat dilakukan ilmu pengetahuan dengan kenyataan kehidupan (realitas), maka
perubahan paradigma ilmu pengetahuan merupakan jawaban untuk mengatasi krisis yang
cukup serius (Kuhn 1970).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar