Selasa, 22 November 2011

Filsafat Ilmu

A.    Pemikiran Pemikiran Filsafat
  1. Humanisme
Humanisme adalah paham filsafat yang menjunjung tinggi nilai dan kedudukan manusia serta menjadikannya sebagai kriteria segala sesuatu.  Dengan kata lain, humanisme menjadikan tabiat manusia beserta batas-batas dan kecenderungan alamiah manusia sebagai obyek. Pada arti awalnya, humanisme merupakan sebuah konsep monumental yang menjadi aspek fundamental bagi Renaisans,  yaitu aspek yang di jadikan para pemikir sebagai pegangan untuk mempelajari kesempurnaan manusia di alam natural dan di dalam sejarah sekaligus meriset interpretasi manusia tentang ini.  Istilah humanisme dalam pengertian ini adalah derivat dari kata-kata humanitas yang pada zaman Cicero dan Varro berarti pengajaran masalah-masalah yang oleh orang-orang Yunani disebut paidea yang berarti kebudayaan. 

Pada zaman Yunani kuno pendidikan dilakukan sebagai seni-seni bebas, dan ketentuan ini dipandang layak hanya untuk manusia karena manusia berbeda dengan semua binatang. Di bawah komando keluarga Medici atau setidaknya pada zaman merekalah para humanis mulai menarik perhatian dan mewarnai opini masyarakat Italia. Kaum humanis menggiring perhatian rakyat dari agama ke filsafat dan  dari langit ke bumi. Kekayaan pikiran dan seni masa-masa kesyirikan dikembalikan kepada sebuah generasi yang terpukau. Sejak zaman Ariosto Ludovico, orang-orang yang gila ilmu pengetahuan ini mulai tenar dengan nama kaum humanis, sebab mereka membaca telaah kebudayaan klasik tentang humanitas (berkaitan dengan dunia manusia) atau humanuras (kesusasteraan yang lebih manusiawi, dan bukan berarti kesusasteraan yang lebih berprikemanusiaan, melainkan berarti kesusasteraan yang lebih banyak berkaitan dengan dunia manusia). Jadi, tema kajian yang paling tepat ialah manusia itu sendiri dengan kemampuan yang terpendam di dalam dirinya, dan keindahan jasmani dengan segala kesenangan dan penderitaan panca indera dan perasaannya dan dengan segala kekuatan akalnya yang menakjubkan. Poin-poin inilah yang mendapat perhatian penuh seperti yang pernah terjadi dalam kesusasteraan dan seni Yunani dan Romawi kuno.
Ideologi-ideologi dibawah ini adalah ajaran-ajaran yang terbentuk berdasarkan paham humanisme:
1.      Komunisme, karena di dalam ideologi ini humanisme bisa menghapus keterasingan manusia dari dirinya akibat kepemilikan swasta dan sistem masyarakat kapitalisme.
2.      Pragmatisme, karena pandangan yang menjadikan manusia sebagai orientasi, sebagaimana pandangan Protagoras, telah menjadikan manusia sebagai kriteria segala sesuatu.
3.      Eksistensialisme yang telah memberikan argumentasi bahwa tidak ada satupun alam yang sebanding dengan alam subyektivitas manusia. 
Dengan demikian, sebagian besar ajaran filsafat panca Renaisans secara mendasar telah dipengaruhi pikiran humanistik.  Contohnya, komunisme yang sebagian besar pandangannya tertuangkan kepada masalah kerakyatan, pragmatisme yang ajarannya bersandarkan kepada esensi perbuatan manusia, personalisme yang meyakini spirit manusia memiliki daya pengaruh yang terbesar, dan eksistensialisme yang banyak memberikan penekanan kepada wujud aktual manusia, semuanya memandang manusia sebagai satu wujud yang bertumpu pada esensinya sendiri serta wujud dimana dirinya adalah pelaku dan tujuannya sendiri. 
  1. Rasionalisme
Aliran rasionalisme dipelopori oleh Rene Descartes (1596-1650 M).  Dalam buku Discourse de la Methode tahun 1637 ia menegaskan perlunya ada metode yang jitu sebagai dasar kokoh bagi semua pengetahuan, yaitu dengan menyangsikan segalanya, secara metodis.  Kalau suatu kebenaran tahan terhadap ujian kesangsian yang radikal ini, maka kebenaran itu 100% pasti dan menjadi landasan bagi seluruh pengetahuan. Tetapi dalam rangka kesangsian yang metodis ini ternyata hanya ada satu hal yang tidak dapat diragukan, yaitu “saya ragu-ragu”.  Ini bukan khayalan, tetapi kenyataan, bahwa “aku ragu-ragu”.  Jika aku menyangsikan sesuatu, aku menyadari bahwa aku menyangsikan adanya.  Dengan lain kata kesangsian itu langsung menyatakan adanya aku. Itulah “cogito ergo sum”, aku berpikir (= menyadari) maka aku ada.  Itulah kebenaran yang tidak dapat disangkal lagi.  — Mengapa kebenaran itu pasti?  Sebab aku mengerti itu dengan “jelas, dan terpilah-pilah” — “clearly and distinctly”, “clara et distincta”.  Artinya, yang jelas dan terpilah-pilah itulah yang harus diterima sebagai benar.  Dan itu menjadi norma Descartes dalam menentukan kebenaran. 
Descartes menerima 3 realitas atau substansi bawaan, yang sudah ada sejak kita lahir, yaitu (1) realitas pikiran (res cogitan), (2) realitas perluasan (res extensa, “extention”) atau materi, dan (3) Tuhan (sebagai Wujud yang seluruhnya sempurna, penyebab sempurna dari kedua realitas itu). 
Pikiran sesungguhnya adalah kesadaran, tidak mengambil ruang dan tak dapat dibagi-bagi menjadi bagian yang lebih kecil.  Materi adalah keluasan, mengambil tempat dan dapat dibagi-bagi, dan tak memiliki kesadaran. Kedua substansi berasal dari Tuhan, sebab hanya Tuhan sajalah yang ada tanpa tergantung pada apapun juga. Descartes adalah seorang dualis, menerapkan pembagian tegas antara realitas pikiran dan realitas yang meluas. Manusia memiliki keduanya, sedang binatang hanya memiliki realitas keluasan: manusia memiliki badan sebagaimana binatang, dan memiliki pikiran sebagaimana malaikat. Binatang adalah mesin otomat, bekerja mekanistik, sedang manusia adalah mesin otomat yang sempurna, karena dari pikirannya ia memiliki kecerdasan. (Mesin otomat jaman sekarang adalah komputer yang tampak seperti memiliki kecerdasan buatan). Descartes adalah pelopor kaum rasionalis, yaitu mereka yang percaya bahwa dasar semua pengetahuan ada dalam pikiran.   
  1. Positifisme
Aliran filsafat yang lain adalah Positivisme. Dasar-dasar filsafat ini dibangun oleh Saint Simon dan dikembangkan oleh Auguste Comte (1798-1857). Ia menyatakan bahwa pengetahuan manusia berkembang secara evolusi dalam tiga tahap, yaitu teologis, metafisik, dan positif.
Pengetahuan positif merupakan puncak pengetahuan manusia yang disebutnya sebagai pengetahuan ilmiah. Sesuai dengan pandangan tersebut kebenaran metafisik yang diperoleh dalam metafisika ditolak, karena kebenarannya sulit dibuktikan dalam kenyataan.Auguste Comte mencoba mengembangkan Positivisme ke dalam agama atau sebagai pengganti agama. Hal ini terbukti dengan didirikannya Positive Societies di berbagai tempat yang memuja kemanusiaan sebagai ganti memuja Tuhan. Perkembangan selanjutnya dari aliran ini melahirkan aliran yang bertumpu kepada isi dan fakta-fakta yang bersifat materi, yang dikenal dengan Materialisme. 
  1. Empirisme
Aliran empririsme nyata dalam pemikiran David Hume (1711-1776), yang memilih pengalaman sebagai sumber utama pengetahuan.  Pengalaman itu dapat yang bersifat lahirilah (yang menyangkut dunia), maupun yang batiniah (yang menyangkut pribadi manusia). Oleh karena itu pengenalan inderawi merupakan bentuk pengenalan yang paling jelas dan sempurna. Dua hal dicermati oleh Hume, yaitu substansi dan kausalitas. Hume tidak menerima substansi, sebab yang dialami hanya kesan-kesan saja tentang beberapa ciri yang selalu ada bersama-sama. 
Dari kesan muncul gagasan. Kesan adalah hasil penginderaan langsung, sedang gagasan adalah ingatan akan kesan-kesan seperti itu. Misal kualami kesan: putih, licin, ringan, tipis. Atas dasar pengalaman itu tidak dapat disimpulkan, bahwa ada substansi tetap yang misalnya disebut kertas, yang memiliki ciri-ciri tadi. Bahwa di dunia ada realitas kertas, diterima oleh Hume. Namun dari kesan itu mengapa muncul gagasan kertas, dan bukan yang lainnya? Bagi Hume, “aku” tidak lain hanyalah “a bundle or collection of perceptions (= kesadaran tertentu)”. 
Jika gejala tertentu diikuti oleh gejala lainnya, misal batu yang disinari matahari menjadi panas, kesimpulan itu tidak berdasarkan pengalaman.  Pengalaman hanya memberi kita urutan gejala, tetapi tidak memperlihatkan kepada kita urutan sebab-akibat.  Yang disebut kepastian hanya mengungkapkan harapan kita saja dan tidak boleh dimengerti lebih dari “probable” (berpeluang).  Maka Hume menolak kausalitas, sebab harapan bahwa sesuatu mengikuti yang lain tidak melekat pada hal-hal itu sendiri, namun hanya dalam gagasan kita.  Hukum alam adalah hukum alam.  Jika kita bicara tentang “hukum alam” atau “sebab-akibat”, sebenarnya kita membicarakan apa yang kita harapkan, yang merupakan gagasan kita saja, yang lebih didikte oleh kebiasaan atau perasaan kita saja. Hume merupakan pelopor para empirisis, yang percaya bahwa seluruh pengetahuan tentang dunia berasal dari indera.  Menurut Hume ada batasan-batasan yang tegas tentang bagaimana kesimpulan dapat diambil melalui persepsi indera kita.   
  1. Science / Ilmu Pengetahuan
‘Science’ merupakan bagian dari himpunan informasi yang termasuk dalam pengetahuan ilmiah, dan berisikan informasi yang memberikan gambaran tentang struktur dari sistem-sistem serta penjelasan tentang pola-laku sistem-sistem tersebut. Sistem yang dimaksud dapat berupa sistem alami, maupun sistem yang merupakan rekaan pemikiran manusia mengenai pola laku hubungan dalamtatanan kehidupan masyarakat yang diinstitusionalisasikan.
Dalam bahasa Inggris dapat dirumuskan sebagai berikut: ‘Science is a sub-set of the information set on [human] scientific knowledge that describes the structure of systems and provides explanation on their behavioural patterns, wether natural or human institutionalized ones’.  Pergerakan yang dialami oleh pengetahuan sederhana menuju pada pembenaran ilmu pengetahuan sehingga menjadi ilmu pengetahuan diperlukan sebuah landasan dan proses sehingga ilmu pengetahuan (science atau sains) dapat dibangun. Landasan dan proses pembangunan ilmu pengetahuan itu merupakan sebuah penilaian (judgement) yang dilibatkan pada proses pembangunan ilmu pengetahuan (Ash-Shadr 1995).
Dalam pembangungan ilmu pengetahuan juga diperlukan beberapa tiang penyangga agar ilmu pengetahuan dapat menjadi sebuah paham yang mengandung makna universalitas. Beberapa tiang penyangga dalam pembangunan ilmu pengetahuan itu sebenarnya berupa penilaian yang terdiri dari ontologi, epistemologi dan aksiologi (Jujun 1990: 2). Perlunya penilaian dalam pembangunan ilmu pengetahuan alasannya adalah agar pembenaran yang dilakukan terhadap ilmu pengetahuan dapat diterima sebagai pembenaran secara umum.
Sampai sejauh ini, didunia akademik anutan pembenaran ilmu pengetahuan dilandaskan pada proses berpikir secara ilmiah. Oleh karena itu, proses berpikir di dunia ilmiah mempunyai cara-cara tersendiri sehingga dapat dijadikan pembeda dengan proses berpikir yang ada diluar dunia ilmiah. Dengan alasan itu berpikir ilmiah dalam ilmu pengetahuan harus mengikuti cara filsafat pengetahuan atau epistemologi, sementara dalam epistemologi dasar yang menjiwai dinamika proses kegiatan memperoleh pengetahuan secara ilmiah disebut filsafat ilmu (Didi 1997: 3).    
C.    Peran Filsafat Ilmu dalam Ilmu Pengetahuan
Menurut Didi (1997) ilmu pengetahuan (dalam hal ini pengetahuan ilmiah) harus diperoleh dengan cara sadar, melakukan sesuatu tehadap objek, didasarkan pada suatu sistem, prosesnya menggunakan cara yang lazim, mengikuti metode serta melakukannya dengan cara berurutan yang kemudian diakhiri dengan verifikasi atau pemeriksaan tentang kebenaran ilmiahnya (kesahihan).
Dengan demikian pendekatan filsafat ilmu mempunyai implikasi pada sistematika pengetahuan sehingga memerlukan prosedur, harus memenuhi aspek metodologi, bersifat teknis dan normatif akademik. Pada kenyataannya filsafat ilmu mengalami perkembangan dari waktu ke waktu, perkembangannya seiring dengan pemikiran tertinggi yang dicapai manusia. Oleh karena itu filsafat sains modern yang ada sekarang merupakan output perkembangan filsafat ilmu terkini yang telah dihasilkan oleh pemikiran manusia.
Filsafat ilmu dalam perkembangannya dipengaruhi oleh pemikiran yang dipakai dalam membangun ilmu pengetahuan, tokoh pemikir dalam filsafat ilmu yang telah mempengaruhi pemikiran sains modern yaitu Rene Descartes (aliran rasionalitas) (Herman 1999) dan John Locke (aliran empirikal) (Ash-Shadr 1995) yang telah meletakkan dasar rasionalitas dan empirisme pada proses berpikir.  Kemampuan rasional dalam proses berpikir dipergunakan sebagai alat penggali empiris sehingga terselenggara proses “create” ilmu pengetahuan (Hidajat 1984a). Akumulasi penelaahan empiris dengan menggunakan rasionalitas yang dikemas melalui metodologi diharapkan dapat menghasilkan dan memperkuat ilmu pengetahuan menjadi semakin rasional.
Akan tetapi, salah satu kelemahan dalam cara berpikir ilmiah adalah justru terletak pada penafsiran cara berpikir ilmiah sebagai cara berpikir rasional, sehingga dalam pandangan yang dangkal akan mengalami kesukaran membedakan pengetahuan ilmiah dengan pengetahuan yang rasional.
Oleh sebab itu, hakikat berpikir rasional sebenarnya merupakan sebagian dari berpikir ilmiah sehingga kecenderungan berpikir rasional ini menyebabkan ketidakmampuan menghasilkan jawaban yang dapat dipercaya secara keilmuan melainkan berhenti pada hipotesis yang merupakan jawaban sementara. Kalau sebelumnya terdapat kecenderungan berpikir secara rasional, maka dengan meningkatnya intensitas penelitian maka kecenderungan berpikir rasional ini akan beralih pada kecenderungan berpikir secara empiris.
Dengan demikian penggabungan cara berpikir rasional dan cara berpikir empiris yang selanjutnya dipakai dalam penelitian ilmiah hakikatnya merupakan implementasi dari metode ilmiah (Jujun 1990). Berdasarkan terminologi, empiris mempunyai pengertian sesuatu yang berdasarkan pemerhatian atau eksperimen, bukan teori (Kamus Dewan 1994: 336) atau sesuatu yang berdasarkan pengalaman (terutama yang diperoleh dari penemuan, percobaan, pengamatan yang telah dilakukan) (Kamus Besar Bahasa Indonesia: 1995:262).
Dengan demikian sesuatu yang empiris itu sangat tergantung kepada fakta (sesuatu yang benar dan dapat dibuktikan), hanya saja fakta yang dibuktikan melalui penginderaan dalam dunia nyata bukanlah fakta yang sudah sempurna telah diamati, melainkan penafsiran dari sebagian pengamatan. Terjadinya sebagian pengamatan pada fakta disebabkan oleh pengamatan manusia yang tidak sempurna sehingga mengakibatkan semua penafsiran manusia mengandung penambahan yang mungkin berubah dengan berubahnya pengamatan (Khan 1983).
Rasional mempunyai pengertian sesuatu yang berdasarkan pertimbangan atau pikiran yang wajar, waras (Kamus Dewan 1994: 1107) atau sesuatu yang dihasilkan menurut pikiran dan timbangan yang logis, menurut pikiran yang sehat, cocok dengan akal, menurut rasio, menurut nisbah (patut) (Kamus Besar Bahasa Indonesia: 1995:820).
Dengan demikian rasionalitas mencakup dua sumber pengetahuan, yaitu; pertama, penginderaan (sensasi) dan kedua, sifat alami (fitrah) (Ash-Shadr 1995: 29). Implikasi dari sensasi dan fitrah di atas bisa berpengaruh pada bentuk pemahaman rasional sebagai pandangan yang menyatakan bahwa pengetahuan tidak hanya didapatkan dari proses penginderaan saja, karena proses penginderaan hanya merupakan upaya memahami empirikal.
Sementara, pemahaman rasional mengandung makna bahwa akal manusia memiliki pengertian-pengertian dan pengetahuan-pengetahuan yang tidak muncul dari hasil penginderaan saja.  Kematangan berpikir ilmiah sangat ditentukan oleh kematangan berpikir rasional dan berpikir empiris yang didasarkan pada fakta (objektif), karena kematangan itu mempunyai dampak pada kualitas ilmu pengetahuan. Sehingga jika berpikir ilmiah tidak dilandasi oleh rasionalisme, empirisme dan objektivitas maka berpikir itu tidak dapat dikatakan suatu proses berpikir ilmiah.
Karena itu sesuatu yang memiliki citra rasional, empiris dan objektif dalam ilmu pengetahuan dipandang menjamin kebenarannya, dengan demikian rasionalisme, empirisme dan objektivitas merupakan dogma dalam ilmu pengetahuan (Hidajat 1984b).  Dogma yaitu kepercayaan atau sistem kepercayaan yang dianggap benar dan seharusnya dapat diterima oleh orang ramai tanpa sebarang pertikaian atau pokok ajaran yang harus diterima sebagai hal yang benar dan baik, tidak boleh dibantah dan diragukan. Paradigma ialah lingkungan atau batasan pemikiran pada sesuatu masa yang dipengaruhi oleh pengalaman, pengetahuan, kemahiran, dan kesadaran yang ada atau model dalam ilmu pengetahuan, kerangka berpikir (Kamus Dewan 1994: 311 & 978) dan (Kamus Umum Bahasa Indonesia 1995: 239 & 729).
Dari terminologi di atas dogma dan paradigma sebenarnya mempunyai kaitan makna, karena paradigma merupakan kata lain dari paradogma atau dogma primer. Dogma primer ialah prinsip dasar dan landasan aksiom yang kadar kebenarannya sudah tidak dipertanyakan lagi, karena sudah self evident atau benar dengan sendirinya (Hidajat 1984a). Akibatnya dari kebutuhan terhadap adanya paradigma dalam membangun ilmu pengetahuan (sains) membawa dampak pada kebutuhan adanya rasionalisme, empirisme dan objektivitas. Artinya, apabila pengetahuan yang dibangun dan dikembangkan tidak memenuhi aspek rasional, empirikal dan objektif maka kebenaran pengetahuannya perlu dipertanyakan lagi atau tidak mempunyai kesahihan.
Oleh karena itu membangun ilmu pengetahuan diperlukan konsistensi yang terus berpegang pada paradigma yang membentuknya. Kearifan memperbaiki paradigma ilmu pengetahuan nampaknya sangat diperlukan agar ilmu pengetahuan seiring dengan tantangan zaman, karena ilmu pengetahuan tidak hidup dengan dirinya sendiri, tetapi harus mempunyai manfaat kepada kehidupan dunia. Oleh karena itu kita tidak bisa mengatakan ilmu pengetahuan dapat berkembang oleh dirinya sendiri, jika kita memilih berpikir seperti itu maka sebenarnya kita telah berupaya memperlebar jurang ketidakmampuan ilmu pengetahuan menjawab permasalahan kehidupan.
Hal ini perlu dipahami secara bijak karena permasalahan kehidupan saat ini sudah mencapai pada suatu keadaan yang kritis, yaitu krisis yang kompleks dan multidimensi (intlektual, moral dan spiritual) yang berdampak pada seluruh aspek kehidupan (Capra 1999). Dengan demikian jika kita mempertanyakan penyesuaian apa yang dapat dilakukan ilmu pengetahuan dengan kenyataan kehidupan (realitas), maka perubahan paradigma ilmu pengetahuan merupakan jawaban untuk mengatasi krisis yang cukup serius (Kuhn 1970). 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar