Rabu, 23 November 2011

Naskah Akademik RUU Tindak Pidana Pencucian Uang


  1. DASAR FILOSOFIS
Dasar filosofis adalah pandangan hidup bangsa Indonesia dalam berbangsa dan bernegara, yaitu Pancasila. Penjabaran nilai-nilai Pancasila di dalam hukum mencerminkan suatu keadilan, ketertiban, dan kesejahteraan yang diinginkan oleh masyarakat Indonesia. Rumusan Pancasila yang terdapat di dalam Pembukaan (Preambule) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) terdiri dari empat alinea. Alinea keempat memuat rumusan tujuan negara dan dasar negara. Dasar negara adalah Pancasila, sedangkan keempat pokok pikiran di dalam Pembukaan UUD 1945 pada dasarnya untuk mewujudkan cita hukum (rechtsides) yang menguasai hukum dasar negara baik yang tertulis maupun tidak tertulis.

Batang tubuh UUD 1945 mengatur pokok-pokok pikiran tersebut dalam pasal-pasalnya, dengan kata lain batang tubuh atau pasal-pasal di dalam UUD 1945 merupakan perwujudan dari cita hukum. Pancasila sebagai norma filosofis negara dan merupakan sumber cita hukum yang terumuskan lebih lanjut dalam tata hukum atau hierarki peraturan perundang-undangan yang sekaligus menjadi “kaedah dasar fundamental negara”.
Dengan jelas dan terang dinyatakan, bahwa tujuan negara adalah memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Butir kedua dari Pancasila adalah kemanusiaan yang adil dan beradab yang secara filosofis mencerminkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin terlindunginya harkat dan martabat kemanusiaan dan menjamin tegaknya hukum dan keadilan. Dalam hubungan ini, salah satu bentuk ancaman terhadap nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri adalah kejahatan. Oleh sebab itu, kejahatan harus dicegah dan diberantas karena sangat bertentangan bahkan dapat menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan. Salah satu bentuk kejahatan dimaksud adalah tindak pidana pencucian uang (TPPU). Tindak pidana pencucian uang adalah kejahatan yang dapat merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hal ini tidak terlepas dari dampak negatif tindak pidana pencucian uang antara lain dapat meningkatkan motivasi seseorang atau organisasi kejahatan untuk mengembangkan kejahatannya yang pada gilirannya dapat pula menciptakan kemiskinan dan kebodohan, merusak struktur keuangan dan perekonomian serta terganggunya stabilitas pemerintahan.
Sistem dan mekanisme penegakan hukum pencucian uang atau rezim anti-pencucian uang, berbeda dengan penegakan hukum tindak pidana konvensional. Pengungkapan tindak pidana dan pelaku tindak pidana pencucian uang lebih difokuskan pada penelusuran aliran dana/uang haram (follow the money) atau transaksi keuangan. Dengan kata lain, penelusuran aliran dana melalui transaksi keuangan, merupakan cara yang paling mudah untuk menemukan jenis kejahatan, pelaku kejahatan dan tempat dimana hasil kejahatan disembunyikan atau disamarkan. Pendekatan ini tidak terlepas
dari paradigma pencucian uang bahwa hasil kejahatan (proceeds of crime) merupakan “life blood of the crime”, artinya hasil kejahatan merupakan darah yang menghidupi tindak kejahatan itu sendiri sekaligus titik terlemah dari mata rantai kejahatan.
Dengan memperhatikan dampak serius yang ditimbulkan sebagaimana telah diuraikan di atas, dan tujuan mulia dibangunannya rezim anti-pencucian uang, maka pembangunan hukum pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang yang komprehensif, konsisten, sistemik, serta mampu memberikan kepastian dan jaminan perlindungan hukum bagi masyarakat menjadi sangat urgen di masa mendatang.

  1. DASAR SOSIOLOGIS
Di dalam masyarakat terdapat suatu kondisi nyata tentang tingkat penerimaan (acceptance) atau tingkat penolakan (resistance) terhadap suatu kebijakan publik seperti peraturan perundang-undangan. Untuk itu perlu mengikutsertakan masyarakat sebagai faktor penyeimbang dalam proses pembuatan produk hukum dalam rangka membangun kesempatan dan sekaligus mereduksi serendah mungkin tingkat resistensinya, sehingga akan menjadi undang-undang yang efektif ideal.
Upaya mereduksi resistensi tersebut perlu dilakukan dengan melibatkan kalangan penyedia jasa keuangan, profesi, dan penyedia barang dan jasa, kalangan akademik dan pemerhati hukum dalam proses pembentukan undang-undang tentang pencegahan dan pemberantasan TPPU guna menghindari anggapan bahwa pembentukan UU TPPU ini keliru dan tidak sesuai dengan sistem hukum Indonesia dan hanya akan menimbulkan
keguncangan sosial dan ekonomi.
Sebagai antisipasi terhadap kemungkinan adanya resistensi masyarakat terhadap RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU ini, maka perlu adanya kegiatan sosialisasi yang terus menerus di semua lapisan masyarakat, agar masyarakat dapat memahami urgensi pencegahan dan pemberantasan TPPU diatur oleh suatu undang-undang. Pelaksanaan rezim anti pencucian uang di Indonesia selama lebih dari 4 (empat) tahun ini, telah banyak memberikan pengaruh terhadap nilai-nilai sosial kemasyarakatan. Sebelum dibangunannya rezim anti pencucian uang, masyarakat tidak dibebani dengan berbagai kewajiban dalam memanfaatkan jasa lembaga keuangan, dan sebaliknya industri keuangan juga tidak dibebani kewajiban untuk melakukan identifikasi transaksi nasabahnya.
Secara sosiologis atau dari sudut pandang masyarakat, penerapan rezim anti-pencucian uang masih menghadapi hambatan. Masyarakat pengguna jasa (nasabah) masih memandang bahwa penerapan Prinsip Mengenali pengguna jasa (Know Your Costumer – KYC) oleh Penyedia Jasa Keuangan (PJK) menimbulkan keengganan untuk bertransaksi di PJK. Sebaliknya, PJK juga memiliki kekhawatiran akan kehilangan nasabah. Pada awalnya hampir di semua negara, penerapan KYC sebagai bagian dari pembangunan rezim anti-pencucian uang mengalami hambatan serupa. Namun demikian,
beberapa tahun kemudian penerapan KYC tersebut lambat laun akan menjadi suatu kebiasaan dan keharusan. Kekhawatiran ini dapat dimaklumi mengingat kurangnya perhatian dari nasabah dan tidak serentaknya PJK dalam menerapkan prinsip KYC pada
nasabah.
Sebagaimana telah disinggung di atas, arti penting pelaksanaan rezim anti pencucian uang melalui penerapan KYC adalah :
  1. Bagi PJK, antara lain dapat: menciptakan PJK yang sehat, karena terhindar dari risiko operasional, hukum, terkonsentrasinya transaksi, dan reputasi; terhindar dari sanksi pidana baik pidana penjara dan denda, serta sanksi administratif sampai dengan pencabutan izin usaha; membantu penegakan hukum dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana lainnya; dan dengan adanya kestabilan ekonomi dan sistem keuangan, serta meningkatnya integritas sistim keuangan khususnya perbankan di baik mata nasional dan internasional karena tidak digunakan sebagai sasaran dan saran pencucian uang, maka dengan sendirinya dapat menciptakan industri perbankan yang kompetitif dalam skala internasional;
  2. Bagi Nasabah, antara lain dapat: memberikan rasa aman dalam bertransaksi karena tidak memiliki kekhawatiran terhadap PJK yang dipakai bertransaksi dikenai sanksi sampai penutupan usaha; transaksi yang dilakukan bisa berjalan dengan lancar; tidak adanya kekhawatiran dananya dibekukan karena PJK yang bersangkutan telah menerapkan KYC; memberikan kemudahan dalam bertransaksi antara lain pembukaan Letter of Credit tidak menemui hambatan di bank korespondennya karena adanya kepercayaan dari bank korespondennya di luar negeri; secara tidak langsung telah memberikan edukasi dalam bidang penegakan hukum kepada masyarakat; dengan melaksanakan aturan prinsip mengenal nasabah secara konsisten, di samping jalinan kemitraan dengan PJK semakin meningkat tetapi juga tidak adanya kecurigaan bahwa si nasabah menguasai harta kekayaan yang berasal dari hasil tindak pidana.
Untuk dapat membangun rezim anti-pencucian uang yang efektif, perlu melibatkan peran serta semua komponen masyarakat khususnya masyarakat pengguna jasa keuangan, industri keuangan dan industri lain yang terkait dengan keuangan, regulator, aparat penegak hukum dan pemerintah. Hal ini diperlukan untuk mengantisipasi pelaku pencucian uang yang selalu mencari celah dalam upaya menyembunyikan atau menyamarkan hasil kejahatannya.
Dengan demikian, untuk lebih memberikan dasar pijakan yang kuat dalam penerapannya, maka perlu penyusunan dasar hukum pelaksanaan KYC dan atau kewajiban pelaporan berikut sanksi hukumnya, dan adanya dukungan semua pihak, Pemerintah pada khususnya dan masyarakat luas pada umumnya, seperti kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat, Akademisi, dan masyarakat pengguna jasa keuangan.
Revisi UU TPPU diharapkan dapat menata dan memastikan pentingnya penerapan KYC dan kepatuhan pihak-pihak yang memiliki kewajiban pelaporan, serta memenuhi komitmen Indonesia dalam pergaulan internasional. Kegagalan dalam membangun rezim anti- pencucian uang melalui penyusunan UU TPPU yang komprehensif, dapat berakibat menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum nasional dan mempengaruhi penilaian terhadap Indonesia di mata internasional.

  1. DASAR YURIDIS
Penyusunan RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU dilatarbelakangi oleh kesadaran adanya kelemahan pengaturan dan penegakan hukum UU TPPU. Kendala yuridis tersebut antara lain adanya multi interpretasi terhadap rumusan delik TPPU dalam UU TPPU, banyaknya ”loopholes” dan kurang tegasnya rumusan mengenai pemberian sanksi atau ancaman hukuman yang diyakini sebagai salah satu penyebab kurang efektifnya pelaksanaan atau penegakan hukum TPPU. Hal ini menunjukkan, bahwa pengaturan mengenai tindak pidana pencucian uang belum menjamin kepastian hukum dan ketertiban hukum dalam masyarakat.
Dalam upaya mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang, maka perlu adanya kepastian hukum dan penegakan hukum yang berkeadilan yang harus dilaksanakan secara konsisten dan berkelanjutan. Perlunya revisi atau kaji ulang kebijakan formulasi perundangundangan di bidang pencegahan dan pemberantasan TPPU, juga dipicu oleh perkembangan pembangunan rezim anti-pencucian uang di dunia
internasional terutama pasca dikeluarkannya revised 40 recommendations dan 9 special recommendations.
Salah satu dari 40 rekomendasi tersebut, adalah perlunya memperluas lingkup pihak pelapor (reporting parties) yang wajib menyampaikan laporan transaksi keuangan mencurigakan (LTKM) atau Suspicious Transaction Report (STR) kepada FIU seperti PPATK. Rekomendasi FATF No. 16 dengan tegas menyatakan agar pengacara, notaris, profesi hukum lainnya, akuntan publik, pedagang barang-barang berharga dan perhiasan, serta lembaga profesi lainnya diminta untuk melaporkan LTKM/STR.
Penyusunan RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menjadi semakin strategis dan relevan dengan telah diratifikasinya International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 (Konvensi Internasional Pemberantasan Pendanaan Terorisme Tahun 1999) berdasarkan UU No. 6 Tahun 2006 dan United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi) berdasarkan UU No. 7 Tahun 2006.
 Dengan telah diratifikasinya kedua konvensi internasional tersebut, maka pemerintah Indonesia berkewajiban untuk memenuhi semua kewajiban yang diatur oleh kedua konvensi dan menyampaikan country report yang memuat upaya tindak lanjut dari ratifikasi kedua konvensi tersebut. Salah satu kewajiban sesuai Pasal 2 Konvensi PBB mengenai Pemberantasan Pendanaan Terorisme, adalah penerapan kewajiban bagi lembaga keuangan untuk melaporkan transaksi yang mencurigakan kepada instansi berwenang serta bekerja sama untuk saling tukar-menukar informasi dalam rangka pencegahan dan pemberantasan aliran dana untuk tindak pidana terorisme.
Konvensi PBB mengenai Pencegahan Pendanaan Terorisme juga mewajibkan setiap ”negara pihak” (state party) untuk mengatur pengidentifikasian, pendeteksian, dan pembekuan dana yang digunakan untuk membiayai tindak pidana terorisme. Dengan telah diratifikasinya Konvensi Anti Korupsi sebagaimana diuraikan di atas maka pemerintah Indonesia harus memenuhi segala kewajiban yang timbul sebagai “negara pihak” karena telah menandatangani perjanjian internasional tersebut. Salah satu kewajiban yang diatur dalam konvensi tersebut antara lain mengenai upaya-upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi yang sudah tentu terkait erat dengan TPPU.

RUANG LINGKUP REVISI UNDANG-UNDANG
TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

  1. REDEFINISI PENGERTIAN ATAU PERISTILAHAN
Untuk menghindari beragam penafsiran perlu dilakukan redefinisi mengenai pengertian atau peristilahan dalam peraturan perundangundangan TPPU sehingga terdapat batasan dan kejelasan makna serta tidak menimbulkan celah hukum (loopholes). Redefinisi pengertian dan peristilahan juga perlu dilakukan sehingga praktek yang berkembang selama ini akan memiliki landasan hukum yang kuat seperti pengertian mengenai :
  1. Transaksi Keuangan Mencurigakan (TKM)
Pasal 1 angka 7 Undang-undang No. 15 Tahun 2002 tentang TPPU sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 25 Tahun 2003 menyebutkan bahwa :
Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah :
  1. transaksi keuangan yang menyimpang dari profil, karakterisitik, atau kebiasaan pola transaksi dari nasabah yang bersangkutan ;
  2. transaksi keuangan oleh nasabah yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini ; dan
  3. transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan Harta Kekayaan yang diduga berasal dari Hasil Tindak Pidana.
Sehubungan dengan itu, redefinisi pengertian mengenai TKM mutlak perlu dilakukan karena adanya tuntutan pengayaan informasi yang diperlukan PPATK dalam kegiatan analisis dan untuk penyesuaian terhadap perluasan pihak-pihak yang harus melaporkan TKM.
Di samping itu, database yang dimiliki dan dikelola oleh PPATK
saat ini masih terbatas. Untuk mengatasi hal tersebut dan dalam mendukung upaya penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat yang berwenang, maka PPATK mengambil inisiatif untuk menelusuri dan meminta informasi yang dibutuhkan tersebut langsung kepada PJK.
Laporan atau informasi yang diberikan oleh PJK berdasarkan permintaan PPATK kiranya dapat dikualifikasi sebagai TKM. Dengan demikian transaksi yang diminta oleh PPATK untuk dilaporkan oleh pihak pelapor karena melibatkan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana masuk dalam pengertian dan atau dikategorikan sebagai TKM.
  1. Transaksi Keuangan Tunai
      Pasal 1 angka 8 Undang-undang No. 15 Tahun 2002 tentang TPPU sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 25 Tahun 2003 menyebutkan bahwa :
Transaksi Keuangan yang Dilakukan Secara Tunai adalah transaksi penarikan, penyetoran, atau penitipan yang dilakukan dengan tunai atau instrumen pembayaran lain yang dilakukan melalui Penyedia Jasa Keuangan.
Pengertian transaksi keuangan tunai dalam Pasal 1 angka 8 Undang-undang No. 15 Tahun 2002 tentang TPPU sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 25 Tahun 2003 tersebut perlu dikaji ulang karena mengandung pengertian yang sangat luas, yaitu mencakup instrumen pembayaran (monetary instruments) seperti cek, giro, dan traveller cheque. Pelaksanaan kewajiban pelaporan transaksi keuangan tunai sebagaimana dimaksud oleh Undang-undang yang berlaku sekarang ini membebani PJK karena intensitas transaksinya yang begitu tinggi.

  1. PENYEMPURNAAN PENGATURAN TPPU
  1. Penyederhanaan Rumusan Delik TPPU
Rumusan kriminalisasi perbuatan pencucian uang dinilai oleh berbagai kalangan baik praktisi maupun akademisi sebagai salah satu penyebab lemahnya penegakan hukum TPPU. Rumusan delik pencucian uang tersebut mengandung terlalu banyak unsur yang harus dipenuhi atau dibuktikan. Selain itu, rumusan tersebut juga terkesan banyak
duplikasi yang akhirnya menimbulkan kesulitan dalam hal pembuktian.
Salah satunya adalah rumusan delik TPPU menurut Pasal 3 ayat (1) UU No. 15/2002 tentang TPPU sebagaimana telah diubah dengan UU No.25/2003 yang menyebutkan sebagai berikut :
(1) Setiap orang yang dengan sengaja:
  1. menempatkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana ke dalam Penyedia Jasa Keuangan, baik atas nama sendiri atau atas nama pihak lain;
  2. mentransfer Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dari suatu Penyedia Jasa Keuangan ke Penyedia Jasa Keuangan yang lain, baik atas nama sendiri maupun atas nama pihak lain;
  3. membayarkan atau membelanjakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik perbuatan itu atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;
  4. menghibahkan atau menyumbangkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;
  5. menitipkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;
  6. membawa ke luar negeri Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana; atau
  7. menukarkan atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan mata uang atau surat berharga lainnya, dengan maksud menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun danpaling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 15.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah)”.
Untuk itu, rumusan delik pencucian uang dimaksud perlu disempurnakan sehingga menjadi lebih sederhana, jelas dan memudahkan dalam pembuktian unsur-unsurnya dengan tetap mengacu pada standar internasional seperti yang ada dalam United Nations Model Law on Money Laundering and Proceed of Crime Bill 2003 (UN Model).
  1. Kriminalisasi Perbuatan Lain yang Terkait dengan Pencucian Uang
      Sesuai dengan UN Model tersebut, rumusan delik pencucian uang perlu pula diperluas hingga mencakup pemidanaan terhadap orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul, sumber, lokasi, peruntukkan, pengalihan hak-hak atau kepemilikan sebenarnya atas harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga berasal dari hasil tindak pidana. Hal ini dimaksudkan agar ruang gerak pelaku pencucian uang lebih terbatas dan dapat dikenai sanksi pidana pencucian uang, sejalan dengan ketentuan dalam UN Model yang menyebutkan antara lain :
’’… the following shall be regarded as money laundering :
(a) ……………………
(b) the concealment or disguise of the true nature, source, location, disposition,
movement, or ownership of property’’.
( c ) ……………………’’.
Sebagai alternatif rumusan delik yang sejalan dengan UN Model
tersebut di atas sebagai berikut :
Setiap orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak atau kepemilikan sebenarnya atas Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga berasal dari hasil tindak pidana, dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama ... dan denda paling sedikit … dan paling banyak ….

  1. PENATAAN KEMBALI KELEMBAGAAN PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN (PPATK)
Momentum revisi UU TPPU perlu dimanfaatkan untuk melakukan revitalisasi fungsi, tugas dan kewenangan PPATK sehingga keberadaan dan peranan PPATK selaku ”focal point” dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dapat lebih berdaya guna dan berhasil guna.
Format kelembagaan yang dirancang harus tetap mengacu pada ”international best practice” yang dalam masyarakat internasional dikenal dengan sebutan ”Financial Intelligence Unit” (FIU). Adapun fungsi, tugas dan kewenangannya juga harus memenuhi ”standar minimum” yang telah ditentukan oleh 40+9 FATF recommendations.
Pengembangan organisasi PPATK harus disesuaikan dengan kebutuhan domestik dalam mencegah dan memberantas TPPU serta membantu penegakan hukum lainnya. Kebijakan formulasi perundang-undangan yang baru harus dapat merumuskan secara jelas dan tegas fungsi PPATK, yaitu melaksanakan upayaupaya pencegahan dan pemberantasan TPPU. Sehubungan dengan hal tersebut perlu pula dirumuskan dengan jelas tugas-tugas yang diemban PPATK dalam pelaksanaan fungsinya sebagai lembaga intelijen di bidang keuangan.
Pada hakikatnya, ada 5 (lima) tugas utama PPATK yang terkait dengan fungsinya, yaitu:
    1. melakukan upaya pencegahan TPPU;
    2. melakukan pengelolaan data dan informasi yang diperoleh PPATK;
    3. melakukan pengawasan terhadap kepatuhan Pihak Pelapor;
    4. melakukan analisis laporan dan informasi serta menyampaikan hasil analisis transaksi keuangan yang berindikasi tindak pidana pencucian uang dan atau tindak pidana lainnya kepada penyelidik; dan
    5. melakukan penyelidikan TPPU dan meneruskannya kepada penyidik tindak pidana asal.
Revisi UU TPPU juga diharapkan dapat mendorong penyelesaian berbagai persoalan di bidang Sumber Daya Manusia (SDM) yang tidak kunjung tuntas karena adanya kendala perundang-undangan yang terkait dengan permasalahan tersebut seperti belum ditetapkannya Kepala PPATK sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian yang berwenang untuk mengangkat pegawai PPATK. Sementara itu, mengingat pelaksanaan tugas PPATK yangbersifat khusus, perlu dikembangkan manajemen SDM yang berbasis
meritokrasi.
Penjabaran lebih lanjut mengenai pengembangan manajemen SDM tersebut perlu diamanatkan oleh UU dengan menyebutkan secara langsung jenis peraturan perundang-undangannya. Begitupun dengan susunan organisasi dan tata kerja PPATK perlu dijabarkan lebih lanjut dalam peraturan perlaksanaan.
  1. PENATAAN KEMBALI HUKUM ACARA PEMERIKSAAN TPPU
1.    Pemberian Kewenangan Kepada Penyidik Tindak Pidana Asal Untuk Menyidik Dugaan TPPU (Multi Investigator)
Peraturan perundang-undangan yang saat ini berlaku menetapkan penyidi Polri sebagai penyidik satu-satunya yang berwenang melakukan penyidikan TPPU. Meningkatnya intensitas pelaporan PJK ke PPATK dan penyampaian laporan hasil analisis transaksi keuangan mencurigakan oleh PPATK ke penyidik Polri, memberi beban tambahan kepada penyidik Polri.
Sementara itu, Polri memiliki keterbatasan jumlah penyidik TPPU dan anggaran operasional. Masalah lain, laporan analisis transaksi keuangan yang mencurigakan tidak hanya dibuat oleh PPATK berdasarkan LTKM dari PJK atau pihak pelapor melainkan juga berdasarkan permintaan (inquiry) dari penyidik tindak pidana asal. Permasalahan mulai timbul jika kemudian dari laporan hasil analisis transaksi keuangan oleh PPATK ditemukan adanya indikasi perbuatan pencucian uang, sedangkan penyidik tindak pidana asal ternyata tidak memiliki wewenang untuk melakukan penyidikan TPPU. Jika berdasarkan dugaan ternjadinya TPPU tersebut kemudian laporan analisis transaksi keuangan diserahkan juga kepada POLRI untuk melakukan penyidikan TPPU, sementara untuk penyidikan tindak pidana asal dilanjutnya oleh penyidik sebelumnya, maka hal ini tentu saja bertentangan dengan prinsip penanganan perkara yang harus dilaksanakan secara sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Secara teknis, penyidikan TPPU oleh penyidik tindak pidana asal akan mempercepat penanganan dugaan TPPU sekaligus tindak pidana asalnya. Penyidik dapat memanfaatkan kelebihan yang tercantum didalam UUTPPU seperti penerobosan prinsip kerahasiaan transaksi keuangan, sistem pembuktian terbalik dan skim perlindungan saksi dan pihak pelapor. Di sisi lain, pemberian kewenangan penyidikan TPPUkepada penyidik tindak pidana asal akan menciptakan multi investigators system yang diharapkan menumbuhkan semangat kompetisi yang positif diantara institusi penyidik yang akan bermanfaat untuk penegakan hukum. Multi Investigators System diterapkan di Amerika Serikat dengan adanya beberapa lembaga penyidik TPPU seperti DEA (Drugs Enforcement Administration), IRS (Internal Revenue Services), Customs, Immigration dan FBI (Federal Bureau Investigation).
2.      Penyelidikan TPPU oleh PPATK
Perjalanan 4 (empat) tahun menunjukan bahwa sekalipun dalam beberapa kasus laporan hasil analisis transaksi keuangan PPATK telah sangat membantu Penyidik dalam mengungkap tindak pidana pencucian uang, ternyata masih banyak Laporan Hasil Analisis (LHA) yang belum dapat digunakan secara maksimal oleh Penyidik. Keinginan
Penyidik agar laporan hasil analisis tersebut diperkaya dengan analisis hukum disamping analisis transaksi keuangan perlu dicermati dan direspon secara positif. Hal itu menjadi salah satu pertimbangan mengapa PPATK perlu diberi tambahan kewenangan untuk melakukan penyelidikan TPPU di samping pertimbangan kemampuan teknis dan sumber informasi keuangan yang cukup luas yang dimiliki oleh PPATK.
Namun demikian, PPATK tetap tidak perlu diberi wewenang melakukan penyidikan. Sebab, apabila kewenangan penyidikan juga diberikan kepada PPATK, maka mekanisme “check and balances” menjadi lemah akibat hampir seluruh proses, mulai dari menerima laporan, melakukan audit kepatuhan, menganalisa, menyelidik dan menyidik TPPU dilakukan oleh PPATK.
Dalam rangka pelaksanaan tugas PPATK untuk melakukan penyelidikan TPPU dan meneruskannya kepada penyidik tindak pidana asal, PPATK perlu diberi kewenangan untuk antara lain:
a.       menerima laporan dan/atau informasi dari masyarakat tentang adanya dugaan tindak pidana pencucian uang;
b.      meminta keterangan kepada Pihak Pelapor dan pihak lain yang terkait dengan dugaan tindak pidana pencucian uang;
c.       mencari keterangan dan barang bukti;
d.      melakukan penyadapan terhadap komunikasi yang dilakukan dalam rangka melakukan analisis terhadap Transaksi keuangan yang diterima melalui berbagai media;
e.       menghentikan sementara seluruh atau sebagian kegiatan Transaksi atas Harta Kekayaan yang diketahui atau diduga merupakan Hasil Tindak Pidana;
f.       menghentikan sementara Transaksi atas beban rekening yang diketahui atau diduga untuk menampung hasil tindak pidana pencucian uang;
g.      memblokir Harta Kekayaan yang diduga berasal dari tindak pidana;
h.      meminta informasi perkembangan penyidikan yang dilakukan oleh penyidik tindak pidana asal;
i.        meneruskan hasil penyelidikan kepada penyidik; dan
j.        mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

3.      Pembentukan Satuan Tugas Gabungan Penyidikan TPPU
Prof. Romli Atmasasmita, SH, LLM mengutarakan bahwa salah satu masalah mendasar yang mendesak dan segera harus diselesaikan dalam pembangunan hukum nasional adalah masalah penataan kelembagaan aparatur hukum yang masih belum dibentuk secara komprehensif, sehingga melahirkan berbagai ekses. Antara lain, egoisme
sektoral dan menurunnya kerjasama antara-aparatur hukum secara signifikan. Hal ini disebabkan oleh karena miskinnya visi dan misi aparatur hukum antara lain tentang pengertian due process of law, impartial trial, transparency, accountability, the right to counsel.
Mengingat TPUU merupakan kejahatan yang berdimensi lintas sektoral, multi disipliner, berlapis, dan seringkali terjalin dalam suatu jaringan yang rumit, sehingga seringkali menyulitkan bagi penyidik untuk melakukan tugas-tugasnya tanpa meminta bantuan dari lembaga atau badan lain yang lebih berkompeten dalam bidangnya, maka
pembentukan Satuan Tugas Gabungan Penyidikan TPPU dirasakan sebagai suatu kebutuhan dalam rangka pencegahan dan pemberantasan TPPU secara efektif dan efisien.

4.      Asset Sharing
Dalam upaya untuk lebih mengefektifkan penegakan hukum TPPU diperlukan dukungan financial yang cukup memadai, antara lain untuk peningkatan capacity building dan biaya operasional aparat. Oleh karena itu, dalam revisi UU TPPU ini perlu pengaturan mengenai pembagian aset hasil perampasan untuk lembaga penegak hukum dan instansi terkait lainnya yang memiliki andil dalam pengungkapan kasus, pemblokiran, penyitaan dan perampasan aset hasil rampasan. Sebesar 75% (tujuh puluh lima per seratus) aset dari hasil perampasan diserahkan kepada negara, sedangkan sisanya sebasar 25% (dua puluh lima per seratus) dibagikan kepada lembaga penegak hukum dan instansi terkait lainnya yang besarnya tergantung dari andil atau peranan masing-masing pihak dalam proses perampasan aset dimaksud.
  1. PERLINDUNGAN BAGI PELAPOR DAN SAKSI
Salah satu akibat dari lemahnya penegakan hukum dan kurang komprehensifnya pengaturan mengenai perlindungan saksi dan pelapor, adalah keengganan saksi dan pelapor untuk melaksanakan kewajibannya. Saksi akan enggan untuk memberikan kesaksian mengenai segala sesuatu yang ia dengar, ia lihat, dan ia alami sendiri. Demikian pula halnya dengan Pelapor, juga akan enggan untuk melaporkan mengenai apa yang diketahui terkait dugaan terjadinya tindak pidana meskipun Undang-undang mewajibkan untuk melaporkannya kepada instansi yang berwenang. Kekhawatiran di atas dapat dimaklumi ketika saksi dan pelapor telah nyata-nyata melaksanakan kewajibannya namun yang didapat bukanlah suatu prestasi melainkan sebuah ancaman baik ancaman karena sanksi hukum maupun fisik dan mental.
Oleh karena itu, walaupun UU TPPU yang berlaku telah mengatur mengenai perlindungan khusus terhadap Pelapor dan Saksi, namun dalam penyempurnaan UU TPPU nanti pengaturan mengenai perlindungan khusus ini tetap harus diatur lagi. Pengaturan tersebut paling tidak adanya pernyataan bahwa terhadap saksi dan pelapor diberikan perlindungan khusus oleh negara dari ancaman yang membahayakan diri, jiwa dan/atau hartanya termasuk keluarganya dari pihak manapun. Karena dengan pengaturan ini, paling tidak dapat menjadi dasar dalam menyusun peraturan pelaksanaan pemberian perlindungan khusus ini. Lebih lanjut pengaturan mengenai perlindungan yang sudah diatur dan tetap dipertahankan dengan perluasan cakupan, dapat dikelompokkan menjadi sebagai berikut:


1.      Perlindungan karena jaminan Undang-undang
Perlindungan karena jaminan undang-undang mengandung arti bahwa perlindungan yang diberikan telah secara tegas diatur dalam UU TPPU berupa pelepasan dari tuntutan pidana maupun perdata terhadap pihak-pihak yang memiliki kewajiban pelaporan, saksi dan pelapor sebagai berikut:
  1. Lembaga atau pihak-pihak yang memiliki kewajiban pelaporan, pejabat, serta pegawainya tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana atas pelaksanaan kewajiban pelaporan (seperti Pasal 15 UU TPPU).
  2. Pelapor dan/atau saksi tidak dapat dituntut baik secara perdata atau pidana atas pelaporan dan/atau kesaksian yang diberikan (seperti Pasal 43 UUTPPU). Pelapor yang dimaksudkan dalam ketentuan ini adalah setiap orang yang melaporkan terjadinya dugaan tindak pidana pencucian uang, sedangkan saksi adalah setiap orang yang memberikan kesaksian dalam pemeriksaan tindak pidana pencucian uang.
Dengan demikian, pihak-pihak yang memperoleh perlindungan secara hukum dalam UU TPPU adalah :
~ Lembaga yang memiliki kewajiban pelaporan (PJK, profesi, serta penyedia barang        dan jasa)
~ Pejabat PJK
~ Pegawai PJK
~ Pelapor dugaan TPPU
~ Saksi TPPU
Kekebalan hukum dari gugatan secara perdata atau tuntutan secara pidana terhadap pihak-pihak tersebut di atas dapat diberikan sepanjang yang bersangkutan dalam melaksanakan pelaporan dan memberikan kesaksian dilakukan dengan iktikad baik atau yang bersangkutan tidak sebagai pelaku tindak pidana itu sendiri.

2.      Perlindungan karena pelaksanaan UU TPPU
Munculnya perlindungan apabila pelaksanaan kewajiban oleh pelapor dan pihak lain diterapkan secara konsisten. Dalam beberapa Pasal UU TPPU, diatur mengenai kewajiban untuk tidak mengungkap identitas pelapor atau hal-hal lain yang memungkinkan dapat terungkapnya identitas pelapor dengan ancaman pidana bagi yang
melanggarnya. Pengertian pelapor di sini adalah pihak pelapor karena melaksanakan kewajiban pelaporan sebagaimana diatur UU TPPU.
Perlindungan yang diberikan karena pelaksanaan UU TPPU sebagai berikut:
  1. Direksi, pejabat, atau pegawai pihak pelapor dilarang memberitahukan kepada pengguna jasa keuangan atau orang lain baik secara langsung ataupun tidak langsung dengan cara apapun mengenai laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan yang sedang disusun atau telah disampaikan kepada PPATK (seperti Pasal 17 A ayat 1 UUTPPU)
  2. Pejabat atau pegawai PPATK, serta penyelidik/penyidik dilarang memberitahukan laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan kepada pengguna jasa keuangan yang telah dilaporkan kepada PPATK atau penyidik secara langsung atau tidak langsung dengan cara apapun (seperti Pasal 17A ayat 2 UUTPPU).
  3. Pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, hakim, dan siapapun juga yang memperoleh dokumen dan/ atau keterangan dalam rangka pelaksanaan tugasnya, wajib merahasiakan dokumen dan/atau keterangan tersebut kecuali untuk memenuhi kewajiban menurut undangundang (seperti Pasal 10A UUTPPU). Selanjutnya diatur pula bahwa sumber keterangan dan laporan transaksi keuangan mencurigakan wajib dirahasiakan dalam persidangan pengadilan.
  4. PPATK, penyidik, penuntut umum, atau hakim wajib merahasiakan identitas pelapor (seperti Pasal 39)
  5. PPATK, penyidik, saksi, penuntut umum, hakim, atau orang lain yang bersangkutan dengan perkara tindak pidana pencucian uang yang sedang diperiksa wajib merahasiakan identitas pelapor (seperti pasal 10)
  6. Di sidang pengadilan, saksi, penuntut umum, hakim, dan orang lain yang bersangkutan dengan tindak pidana pencucian uang yang sedang dalam pemeriksaan dilarang menyebut nama atau alamat pelapor, atau hal-hal lain yang memungkinkan dapat terungkapnya identitas pelapor (seperti Pasal 41). Lebih lanjut ditegaskan bahwa dalam setiap persidangan sebelum sidang pemeriksaan dimulai, hakim wajib mengingatkan saksi, penuntut umum, dan orang lain yang terkait dengan pemeriksaan perkara tersebut.



3.      Perlindungan Khusus
Setiap orang yang melaporkan terjadinya dugaan tindak pidana pencucian uang dan setiap orang yang memberikan kesaksian dalam pemeriksaan tindak pidana pencucian uang, wajib diberi perlindungan khusus oleh negara dari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya, termasuk keluarganya. Selanjutnya dalam ayat berikutnya mengamanatkan pengaturan lebih lanjut dalam sebuah
peraturan pemerintah mengenai tata cara pemberian perlindungan khusus dimaksud. Pengaturan mengenai hal tersebut dalam UU TPPU telah diatur dalam Pasal 40 dan 42 UU TPPU dan peraturan pelaksanaannya adalah Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan Khusus Bagi Pelapor dan Saksi Tindak Pidana Pencucian Uang. Disadari bahwa terbatasnya cakupan pihak-pihak yang akan memperoleh perlindungan khusus yang hanya pelapor dugaan tindak pidana pencucian uang dan saksi tindak pidana pencucian uang, dalam PP No.57 tersebut tersebut telah memperluas cakupan pelapor sehingga menjadi :
  1. Pelapor karena kewajibannya berdasarkan peraturan perundang-undangan menyampaikan laporan kepada PPATK tentang Transaksi Keuangan Mencurigakan atau Transaksi Keuangan yang Dilakukan Secara Tunai sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang;
  2. Pelapor karena secara sukarela melaporkan kepada penyidik tentang adanya dugaan terjadinya tindak pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang.
Sedangkan pengertian saksi adalah setiap orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana pencucian uang yang didengar sendiri, dilihat sendiri, dan dialami sendiri.
Lebih lanjut mengenai teknis pelaksanaannya, telah dikeluarkan Peraturan KAPOLRI No. 17 Tahun 2005 tentang Tata Cara Perlindungan Khusus Terhadap Pelapor dan Saksi Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang.
Dalam peraturan ini diuraikan mengenai beberapa hal. Pertama, perlindungan atas keamanan pribadi dari ancaman fisik dan mental. Kedua, perlindungan terhadap harta. Ketiga, perlindungan berupa kerahasiaan dan penyamaran identitas. Keempat, pemberian keterangan tanpa bertatap muka (konfrontasi) dengan tersangka atau terdakwa pada setiap tingkat pemeriksanaan perkara.
Adapun bentuk-bentuk perlindungan khusus yang dapat diberikan bagi saksi dan pelapor adalah perlindungan atas keamanan pribadi, dan atau keluarga Pelapor dan Saksi dari ancaman fisik atau mental. Perlindungan Khusus terhadap Pelapor, Saksi dan Keluarganya meliputi:
(i)    perlindungan atas keamanan pribadi dari ancaman fisik atau mental terhadap:
~ orang yaitu pribadi pelapor, saksi dan keluarganya;
~ tempat/lokasi, yaitu: rumah/penginapan/tempat tinggal; tempat kerja/kantor/tempat persidangan; rute dan sarana transaportasi; dan tempat-tempat kegiatan lainnya.
~ kegiatan, meliputi : sebelum, pada saat, dan sesudah proses pemeriksaan perkara. Perlindungan Khusus ini diberikan terhadap kegiatan yang diperkirakan mendapat gangguan dan/atau ancaman:
(ii)  perlindungan terhadap harta Pelapor dan Saksi meliputi harta bergerak dan tidak bergerak yang paling memungkinkan menjadi sasaran gangguan pihak pelaku. Sasaran perlindungan didasarkan atas permohonan Pelapor/ Saksi serta penilaian dari pejabat Polri.
(iii)    perahasiaan dan penyamaran identitas Pelapor dan Saksi dilaksanakan dengan merahasiakan dan menyamarkan nama, tempat/tanggal lahir (usia), jenis kelamin, alamat, pekerjaan, agama, status, pendidikan/gelar, kewarganegaraan, suku bangsa. Perahasiaan dan penyamaran identitas dilakukan dengan membuat berita acara penyamaran identitas berdasarkan permohonan penyamaran dari Pelapor/Saksi dan menyimpan berita acara penyamaran tersebut. Selanjutnya berita acara penyamaran tersebut diserahkan kepada Jaksa Penuntut Umum setelah perkara dinyatakan lengkap (P21).
(iv)    pemberian keterangan tanpa bertatap muka dengan tersangka atau terdakwa pada setiap tingkat pemeriksaan perkara meliputi tahap penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan.


1 komentar:

  1. maaf bisa dikasih sumber naskah akademik UUTPPU nya dari mana?

    BalasHapus