- DASAR FILOSOFIS
Dasar filosofis adalah pandangan hidup bangsa Indonesia dalam berbangsa
dan bernegara, yaitu Pancasila. Penjabaran nilai-nilai Pancasila di
dalam hukum mencerminkan suatu keadilan, ketertiban, dan kesejahteraan yang
diinginkan oleh masyarakat Indonesia. Rumusan Pancasila yang terdapat di
dalam Pembukaan (Preambule) Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) terdiri dari empat alinea. Alinea keempat
memuat rumusan tujuan negara dan dasar negara. Dasar negara adalah
Pancasila, sedangkan keempat pokok pikiran di dalam Pembukaan UUD 1945
pada dasarnya untuk mewujudkan cita hukum (rechtsides) yang menguasai
hukum dasar negara baik yang tertulis maupun tidak tertulis.
Batang tubuh UUD 1945 mengatur pokok-pokok pikiran
tersebut dalam pasal-pasalnya, dengan kata lain batang tubuh atau
pasal-pasal di dalam UUD 1945 merupakan perwujudan dari cita hukum.
Pancasila sebagai norma filosofis negara dan merupakan sumber cita hukum
yang terumuskan lebih lanjut dalam tata hukum atau hierarki peraturan
perundang-undangan yang sekaligus menjadi “kaedah dasar fundamental
negara”.
Dengan jelas dan terang dinyatakan, bahwa tujuan
negara adalah memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
ikut melaksanakan ketertiban
dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Butir kedua
dari Pancasila adalah kemanusiaan yang adil dan beradab yang secara filosofis
mencerminkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin terlindunginya
harkat dan martabat kemanusiaan dan menjamin tegaknya hukum dan keadilan. Dalam
hubungan ini, salah satu bentuk ancaman terhadap nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri
adalah kejahatan. Oleh sebab itu, kejahatan harus dicegah dan diberantas karena
sangat bertentangan bahkan dapat menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan. Salah
satu bentuk kejahatan dimaksud adalah tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Tindak pidana pencucian uang adalah kejahatan yang dapat merusak sendi-sendi
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hal ini tidak terlepas dari
dampak negatif tindak pidana pencucian uang antara lain dapat meningkatkan
motivasi seseorang atau organisasi kejahatan untuk mengembangkan kejahatannya
yang pada gilirannya dapat pula menciptakan kemiskinan dan kebodohan, merusak
struktur keuangan dan perekonomian serta terganggunya stabilitas pemerintahan.
Sistem dan mekanisme penegakan hukum pencucian uang atau rezim anti-pencucian
uang, berbeda dengan penegakan hukum tindak pidana konvensional. Pengungkapan
tindak pidana dan pelaku tindak pidana pencucian uang lebih difokuskan pada
penelusuran aliran dana/uang haram (follow the money) atau transaksi
keuangan. Dengan kata lain, penelusuran aliran dana melalui transaksi keuangan,
merupakan cara yang paling mudah untuk menemukan jenis kejahatan, pelaku
kejahatan dan tempat dimana hasil kejahatan disembunyikan atau disamarkan.
Pendekatan ini tidak terlepas
dari paradigma pencucian
uang bahwa hasil kejahatan (proceeds of crime) merupakan “life blood
of the crime”, artinya hasil kejahatan merupakan darah yang menghidupi
tindak kejahatan itu sendiri sekaligus titik terlemah dari mata rantai
kejahatan.
Dengan memperhatikan dampak serius yang ditimbulkan sebagaimana telah
diuraikan di atas, dan tujuan mulia dibangunannya rezim anti-pencucian uang,
maka pembangunan hukum pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian
uang yang komprehensif, konsisten, sistemik, serta mampu memberikan kepastian
dan jaminan perlindungan hukum bagi masyarakat menjadi sangat urgen di masa
mendatang.
- DASAR SOSIOLOGIS
Di dalam masyarakat terdapat suatu kondisi nyata tentang tingkat penerimaan
(acceptance) atau tingkat penolakan (resistance) terhadap suatu
kebijakan publik seperti peraturan perundang-undangan. Untuk itu perlu mengikutsertakan
masyarakat sebagai faktor penyeimbang dalam proses pembuatan produk
hukum dalam rangka membangun kesempatan dan sekaligus mereduksi serendah
mungkin tingkat resistensinya, sehingga akan menjadi undang-undang yang
efektif ideal.
Upaya mereduksi resistensi tersebut perlu dilakukan dengan melibatkan
kalangan penyedia jasa keuangan, profesi, dan penyedia barang dan jasa, kalangan
akademik dan pemerhati hukum dalam proses pembentukan undang-undang
tentang pencegahan dan pemberantasan TPPU guna menghindari anggapan
bahwa pembentukan UU TPPU ini keliru dan tidak sesuai dengan sistem
hukum Indonesia dan hanya akan menimbulkan
keguncangan
sosial dan ekonomi.
Sebagai antisipasi terhadap kemungkinan adanya resistensi masyarakat terhadap
RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU ini, maka perlu adanya kegiatan
sosialisasi yang terus menerus di semua lapisan masyarakat, agar masyarakat
dapat memahami urgensi pencegahan dan pemberantasan TPPU diatur oleh suatu
undang-undang. Pelaksanaan rezim anti pencucian uang di Indonesia selama lebih
dari 4 (empat) tahun ini, telah banyak memberikan pengaruh terhadap nilai-nilai
sosial kemasyarakatan. Sebelum dibangunannya rezim anti pencucian uang,
masyarakat tidak dibebani dengan berbagai kewajiban dalam memanfaatkan jasa
lembaga keuangan, dan sebaliknya industri keuangan juga tidak dibebani
kewajiban untuk melakukan identifikasi transaksi nasabahnya.
Secara sosiologis atau dari sudut pandang masyarakat, penerapan rezim anti-pencucian
uang masih menghadapi hambatan. Masyarakat pengguna jasa (nasabah) masih
memandang bahwa penerapan Prinsip Mengenali pengguna jasa (Know Your
Costumer – KYC) oleh Penyedia Jasa Keuangan (PJK) menimbulkan keengganan
untuk bertransaksi di PJK. Sebaliknya, PJK juga memiliki kekhawatiran akan
kehilangan nasabah. Pada awalnya hampir di semua negara, penerapan KYC sebagai
bagian dari pembangunan rezim anti-pencucian uang mengalami hambatan serupa.
Namun demikian,
beberapa tahun
kemudian penerapan KYC tersebut lambat laun akan menjadi suatu kebiasaan dan
keharusan. Kekhawatiran ini dapat dimaklumi mengingat kurangnya perhatian dari nasabah
dan tidak serentaknya PJK dalam menerapkan prinsip KYC pada
nasabah.
Sebagaimana telah disinggung di atas, arti penting pelaksanaan rezim anti
pencucian uang melalui penerapan KYC adalah :
- Bagi PJK, antara lain dapat: menciptakan PJK yang sehat, karena terhindar dari risiko operasional, hukum, terkonsentrasinya transaksi, dan reputasi; terhindar dari sanksi pidana baik pidana penjara dan denda, serta sanksi administratif sampai dengan pencabutan izin usaha; membantu penegakan hukum dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana lainnya; dan dengan adanya kestabilan ekonomi dan sistem keuangan, serta meningkatnya integritas sistim keuangan khususnya perbankan di baik mata nasional dan internasional karena tidak digunakan sebagai sasaran dan saran pencucian uang, maka dengan sendirinya dapat menciptakan industri perbankan yang kompetitif dalam skala internasional;
- Bagi Nasabah, antara lain dapat: memberikan rasa aman dalam bertransaksi karena tidak memiliki kekhawatiran terhadap PJK yang dipakai bertransaksi dikenai sanksi sampai penutupan usaha; transaksi yang dilakukan bisa berjalan dengan lancar; tidak adanya kekhawatiran dananya dibekukan karena PJK yang bersangkutan telah menerapkan KYC; memberikan kemudahan dalam bertransaksi antara lain pembukaan Letter of Credit tidak menemui hambatan di bank korespondennya karena adanya kepercayaan dari bank korespondennya di luar negeri; secara tidak langsung telah memberikan edukasi dalam bidang penegakan hukum kepada masyarakat; dengan melaksanakan aturan prinsip mengenal nasabah secara konsisten, di samping jalinan kemitraan dengan PJK semakin meningkat tetapi juga tidak adanya kecurigaan bahwa si nasabah menguasai harta kekayaan yang berasal dari hasil tindak pidana.
Untuk dapat membangun rezim anti-pencucian uang yang efektif, perlu melibatkan
peran serta semua komponen masyarakat khususnya masyarakat pengguna jasa
keuangan, industri keuangan dan industri lain yang terkait dengan keuangan,
regulator, aparat penegak hukum dan pemerintah. Hal ini diperlukan untuk
mengantisipasi pelaku pencucian uang yang selalu mencari celah dalam upaya
menyembunyikan atau menyamarkan hasil kejahatannya.
Dengan demikian, untuk lebih memberikan dasar pijakan yang kuat dalam
penerapannya, maka perlu penyusunan dasar hukum pelaksanaan KYC dan atau
kewajiban pelaporan berikut sanksi hukumnya, dan adanya dukungan semua pihak,
Pemerintah pada khususnya dan masyarakat luas pada umumnya, seperti kalangan Lembaga
Swadaya Masyarakat, Akademisi, dan masyarakat pengguna jasa keuangan.
Revisi UU TPPU diharapkan dapat menata dan memastikan pentingnya penerapan
KYC dan kepatuhan pihak-pihak yang memiliki kewajiban pelaporan, serta memenuhi
komitmen Indonesia dalam pergaulan internasional. Kegagalan dalam membangun
rezim anti- pencucian uang melalui penyusunan UU TPPU yang komprehensif, dapat
berakibat menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum nasional
dan mempengaruhi penilaian terhadap Indonesia di mata internasional.
- DASAR YURIDIS
Penyusunan RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU dilatarbelakangi
oleh kesadaran adanya kelemahan pengaturan dan penegakan hukum UU TPPU. Kendala
yuridis tersebut antara lain adanya multi interpretasi terhadap rumusan delik
TPPU dalam UU TPPU, banyaknya ”loopholes” dan kurang tegasnya rumusan
mengenai pemberian sanksi atau ancaman hukuman yang diyakini sebagai salah satu
penyebab kurang efektifnya pelaksanaan atau penegakan hukum TPPU. Hal ini
menunjukkan, bahwa pengaturan mengenai tindak pidana pencucian uang belum
menjamin kepastian hukum dan ketertiban hukum dalam masyarakat.
Dalam upaya mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang,
maka perlu adanya kepastian hukum dan penegakan hukum yang berkeadilan yang
harus dilaksanakan secara konsisten dan berkelanjutan. Perlunya revisi atau
kaji ulang kebijakan formulasi perundangundangan di bidang pencegahan dan
pemberantasan TPPU, juga dipicu oleh perkembangan pembangunan rezim
anti-pencucian uang di dunia
internasional
terutama pasca dikeluarkannya revised 40 recommendations dan 9 special
recommendations.
Salah satu dari 40 rekomendasi tersebut, adalah perlunya memperluas
lingkup pihak pelapor (reporting parties) yang wajib menyampaikan
laporan transaksi keuangan mencurigakan (LTKM) atau Suspicious
Transaction Report (STR) kepada FIU seperti PPATK. Rekomendasi FATF No. 16
dengan tegas menyatakan agar pengacara, notaris, profesi hukum lainnya,
akuntan publik, pedagang barang-barang berharga dan perhiasan, serta
lembaga profesi lainnya diminta untuk melaporkan LTKM/STR.
Penyusunan RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang menjadi semakin strategis dan relevan dengan telah diratifikasinya
International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism,
1999 (Konvensi Internasional Pemberantasan Pendanaan Terorisme Tahun
1999) berdasarkan UU No. 6 Tahun 2006 dan United Nations Convention Against
Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi)
berdasarkan UU No. 7 Tahun 2006.
Dengan telah
diratifikasinya kedua konvensi internasional tersebut, maka pemerintah Indonesia
berkewajiban untuk memenuhi semua kewajiban yang diatur oleh kedua
konvensi dan menyampaikan country report yang memuat upaya tindak
lanjut dari ratifikasi kedua konvensi tersebut. Salah satu kewajiban
sesuai Pasal 2 Konvensi PBB mengenai Pemberantasan Pendanaan Terorisme,
adalah penerapan kewajiban bagi lembaga keuangan untuk melaporkan
transaksi yang mencurigakan kepada instansi berwenang serta bekerja sama
untuk saling tukar-menukar informasi dalam rangka pencegahan dan
pemberantasan aliran dana untuk tindak pidana terorisme.
Konvensi PBB mengenai Pencegahan Pendanaan Terorisme juga
mewajibkan setiap ”negara pihak” (state party) untuk mengatur pengidentifikasian,
pendeteksian, dan pembekuan dana yang digunakan untuk membiayai tindak
pidana terorisme. Dengan telah diratifikasinya Konvensi Anti Korupsi
sebagaimana diuraikan di atas maka pemerintah Indonesia harus memenuhi
segala kewajiban yang timbul sebagai “negara pihak” karena telah
menandatangani perjanjian internasional tersebut. Salah satu kewajiban
yang diatur dalam konvensi tersebut antara lain mengenai upaya-upaya
pencegahan dan pemberantasan korupsi yang sudah tentu terkait erat
dengan TPPU.
RUANG LINGKUP REVISI UNDANG-UNDANG
TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
- REDEFINISI PENGERTIAN ATAU PERISTILAHAN
Untuk menghindari beragam penafsiran perlu dilakukan redefinisi mengenai
pengertian atau peristilahan dalam peraturan perundangundangan TPPU sehingga
terdapat batasan dan kejelasan makna serta tidak menimbulkan celah hukum (loopholes).
Redefinisi pengertian dan peristilahan juga perlu dilakukan sehingga praktek
yang berkembang selama ini akan memiliki landasan hukum yang kuat seperti
pengertian mengenai :
- Transaksi Keuangan Mencurigakan (TKM)
Pasal 1 angka 7 Undang-undang No. 15 Tahun 2002 tentang TPPU sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang No. 25 Tahun 2003 menyebutkan bahwa :
Transaksi
Keuangan Mencurigakan adalah :
- transaksi keuangan yang menyimpang dari profil, karakterisitik, atau kebiasaan pola transaksi dari nasabah yang bersangkutan ;
- transaksi keuangan oleh nasabah yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini ; dan
- transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan Harta Kekayaan yang diduga berasal dari Hasil Tindak Pidana.
Sehubungan dengan itu, redefinisi pengertian mengenai TKM
mutlak perlu dilakukan karena adanya tuntutan pengayaan informasi yang
diperlukan PPATK dalam kegiatan analisis dan untuk penyesuaian terhadap
perluasan pihak-pihak yang harus melaporkan TKM.
Di samping itu, database yang dimiliki dan
dikelola oleh PPATK
saat ini masih
terbatas. Untuk mengatasi hal tersebut dan dalam mendukung upaya penegakan
hukum yang dilakukan oleh aparat yang berwenang, maka PPATK mengambil inisiatif
untuk menelusuri dan meminta informasi yang dibutuhkan tersebut langsung kepada
PJK.
Laporan atau informasi yang diberikan oleh PJK berdasarkan permintaan
PPATK kiranya dapat dikualifikasi sebagai TKM. Dengan demikian transaksi yang
diminta oleh PPATK untuk dilaporkan oleh pihak pelapor karena melibatkan harta
kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana masuk dalam pengertian
dan atau dikategorikan sebagai TKM.
- Transaksi Keuangan Tunai
Pasal 1 angka 8 Undang-undang No. 15 Tahun
2002 tentang TPPU sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 25 Tahun
2003 menyebutkan bahwa :
Transaksi
Keuangan yang Dilakukan Secara Tunai adalah transaksi penarikan, penyetoran,
atau penitipan yang dilakukan dengan tunai atau instrumen pembayaran lain yang
dilakukan melalui Penyedia Jasa Keuangan.
Pengertian transaksi keuangan tunai dalam Pasal 1 angka 8 Undang-undang
No. 15 Tahun 2002 tentang TPPU sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
No. 25 Tahun 2003 tersebut perlu dikaji ulang karena mengandung pengertian yang
sangat luas, yaitu mencakup instrumen pembayaran (monetary instruments)
seperti cek, giro, dan traveller cheque. Pelaksanaan kewajiban pelaporan
transaksi keuangan tunai sebagaimana dimaksud oleh Undang-undang yang berlaku sekarang
ini membebani PJK karena intensitas transaksinya yang begitu tinggi.
- PENYEMPURNAAN PENGATURAN TPPU
- Penyederhanaan Rumusan Delik TPPU
Rumusan kriminalisasi perbuatan pencucian uang dinilai oleh berbagai
kalangan baik praktisi maupun akademisi sebagai salah satu penyebab lemahnya
penegakan hukum TPPU. Rumusan delik pencucian uang tersebut mengandung terlalu
banyak unsur yang harus dipenuhi atau dibuktikan. Selain itu, rumusan tersebut
juga terkesan banyak
duplikasi yang
akhirnya menimbulkan kesulitan dalam hal pembuktian.
Salah satunya adalah rumusan delik TPPU menurut Pasal 3 ayat (1) UU
No. 15/2002 tentang TPPU sebagaimana telah diubah dengan UU No.25/2003 yang
menyebutkan sebagai berikut :
(1) Setiap orang
yang dengan sengaja:
- menempatkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana ke dalam Penyedia Jasa Keuangan, baik atas nama sendiri atau atas nama pihak lain;
- mentransfer Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dari suatu Penyedia Jasa Keuangan ke Penyedia Jasa Keuangan yang lain, baik atas nama sendiri maupun atas nama pihak lain;
- membayarkan atau membelanjakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik perbuatan itu atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;
- menghibahkan atau menyumbangkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;
- menitipkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;
- membawa ke luar negeri Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana; atau
- menukarkan atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan mata uang atau surat berharga lainnya, dengan maksud menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun danpaling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 15.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah)”.
Untuk itu, rumusan delik pencucian uang dimaksud perlu disempurnakan
sehingga menjadi lebih sederhana, jelas dan memudahkan dalam pembuktian
unsur-unsurnya dengan tetap mengacu pada standar internasional seperti yang ada
dalam United Nations Model Law on Money Laundering and Proceed of
Crime Bill 2003 (UN Model).
- Kriminalisasi Perbuatan Lain yang Terkait dengan Pencucian Uang
Sesuai dengan UN Model tersebut, rumusan
delik pencucian uang perlu pula diperluas hingga mencakup pemidanaan terhadap
orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul, sumber, lokasi, peruntukkan,
pengalihan hak-hak atau kepemilikan sebenarnya atas harta kekayaan yang
diketahui atau patut diduga berasal dari hasil tindak pidana. Hal ini
dimaksudkan agar ruang gerak pelaku pencucian uang lebih terbatas dan dapat
dikenai sanksi pidana pencucian uang, sejalan dengan ketentuan dalam UN Model
yang menyebutkan antara lain :
’’… the
following shall be regarded as money laundering :
(a) ……………………
(b) the
concealment or disguise of the true nature, source, location, disposition,
movement, or
ownership of property’’.
( c )
……………………’’.
Sebagai alternatif rumusan delik yang sejalan dengan UN Model
tersebut di atas
sebagai berikut :
Setiap orang yang
menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan,
pengalihan hak-hak atau kepemilikan sebenarnya atas Harta Kekayaan yang
diketahui atau patut diduga berasal dari hasil tindak pidana, dipidana karena
tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun
dan paling lama ... dan denda paling sedikit … dan paling banyak ….
- PENATAAN KEMBALI KELEMBAGAAN PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN (PPATK)
Momentum revisi UU TPPU perlu dimanfaatkan untuk melakukan revitalisasi
fungsi, tugas dan kewenangan PPATK sehingga keberadaan dan peranan PPATK selaku
”focal point” dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian
uang dapat lebih berdaya guna dan berhasil guna.
Format kelembagaan yang dirancang harus tetap mengacu pada ”international
best practice” yang dalam masyarakat internasional dikenal dengan sebutan ”Financial
Intelligence Unit” (FIU). Adapun fungsi, tugas dan kewenangannya juga harus
memenuhi ”standar minimum” yang telah ditentukan oleh 40+9 FATF
recommendations.
Pengembangan organisasi PPATK harus disesuaikan dengan kebutuhan
domestik dalam mencegah dan memberantas TPPU serta membantu penegakan hukum
lainnya. Kebijakan formulasi perundang-undangan yang baru harus dapat merumuskan
secara jelas dan tegas fungsi PPATK, yaitu melaksanakan upayaupaya pencegahan
dan pemberantasan TPPU. Sehubungan dengan hal tersebut perlu pula dirumuskan
dengan jelas tugas-tugas yang diemban PPATK dalam pelaksanaan fungsinya sebagai
lembaga intelijen di bidang keuangan.
Pada hakikatnya, ada 5 (lima) tugas utama PPATK yang terkait dengan fungsinya,
yaitu:
- melakukan upaya pencegahan TPPU;
- melakukan pengelolaan data dan informasi yang diperoleh PPATK;
- melakukan pengawasan terhadap kepatuhan Pihak Pelapor;
- melakukan analisis laporan dan informasi serta menyampaikan hasil analisis transaksi keuangan yang berindikasi tindak pidana pencucian uang dan atau tindak pidana lainnya kepada penyelidik; dan
- melakukan penyelidikan TPPU dan meneruskannya kepada penyidik tindak pidana asal.
Revisi UU TPPU juga diharapkan dapat mendorong penyelesaian berbagai
persoalan di bidang Sumber Daya Manusia (SDM) yang tidak kunjung tuntas karena
adanya kendala perundang-undangan yang terkait dengan permasalahan tersebut
seperti belum ditetapkannya Kepala PPATK sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian
yang berwenang untuk mengangkat pegawai PPATK. Sementara itu, mengingat
pelaksanaan tugas PPATK yangbersifat khusus, perlu dikembangkan manajemen SDM yang
berbasis
meritokrasi.
Penjabaran lebih lanjut mengenai pengembangan manajemen SDM tersebut
perlu diamanatkan oleh UU dengan menyebutkan secara langsung jenis peraturan
perundang-undangannya. Begitupun dengan susunan organisasi dan tata kerja PPATK
perlu dijabarkan lebih lanjut dalam peraturan perlaksanaan.
- PENATAAN KEMBALI HUKUM ACARA PEMERIKSAAN TPPU
1.
Pemberian
Kewenangan Kepada Penyidik Tindak Pidana Asal Untuk Menyidik Dugaan TPPU (Multi
Investigator)
Peraturan perundang-undangan yang saat ini berlaku menetapkan penyidi Polri
sebagai penyidik satu-satunya yang berwenang melakukan penyidikan TPPU.
Meningkatnya intensitas pelaporan PJK ke PPATK dan penyampaian laporan hasil
analisis transaksi keuangan mencurigakan oleh PPATK ke penyidik Polri, memberi
beban tambahan kepada penyidik Polri.
Sementara itu, Polri memiliki keterbatasan jumlah penyidik TPPU dan
anggaran operasional. Masalah lain, laporan analisis transaksi keuangan yang mencurigakan
tidak hanya dibuat oleh PPATK berdasarkan LTKM dari PJK atau pihak pelapor
melainkan juga berdasarkan permintaan (inquiry) dari penyidik tindak
pidana asal. Permasalahan mulai timbul jika kemudian dari laporan hasil
analisis transaksi keuangan oleh PPATK ditemukan adanya indikasi perbuatan
pencucian uang, sedangkan penyidik tindak pidana asal ternyata tidak memiliki wewenang
untuk melakukan penyidikan TPPU. Jika berdasarkan dugaan ternjadinya TPPU
tersebut kemudian laporan analisis transaksi keuangan diserahkan juga kepada
POLRI untuk melakukan penyidikan TPPU, sementara untuk penyidikan tindak pidana
asal dilanjutnya oleh penyidik sebelumnya, maka hal ini tentu saja bertentangan
dengan prinsip penanganan perkara yang harus dilaksanakan secara sederhana, cepat,
dan biaya ringan.
Secara teknis, penyidikan TPPU oleh penyidik tindak pidana asal akan
mempercepat penanganan dugaan TPPU sekaligus tindak pidana asalnya. Penyidik
dapat memanfaatkan kelebihan yang tercantum didalam UUTPPU seperti penerobosan
prinsip kerahasiaan transaksi keuangan, sistem pembuktian terbalik dan skim
perlindungan saksi dan pihak pelapor. Di sisi lain, pemberian kewenangan
penyidikan TPPUkepada penyidik tindak pidana asal akan menciptakan multi
investigators system yang diharapkan menumbuhkan semangat kompetisi yang
positif diantara institusi penyidik yang akan bermanfaat untuk penegakan hukum.
Multi Investigators System diterapkan di Amerika Serikat dengan adanya
beberapa lembaga penyidik TPPU seperti DEA (Drugs Enforcement Administration),
IRS (Internal Revenue Services), Customs, Immigration dan FBI (Federal
Bureau Investigation).
2.
Penyelidikan
TPPU oleh PPATK
Perjalanan 4 (empat) tahun menunjukan bahwa sekalipun dalam beberapa
kasus laporan hasil analisis transaksi keuangan PPATK telah sangat membantu
Penyidik dalam mengungkap tindak pidana pencucian uang, ternyata masih banyak
Laporan Hasil Analisis (LHA) yang belum dapat digunakan secara maksimal oleh
Penyidik. Keinginan
Penyidik agar
laporan hasil analisis tersebut diperkaya dengan analisis hukum disamping
analisis transaksi keuangan perlu dicermati dan direspon secara positif. Hal
itu menjadi salah satu pertimbangan mengapa PPATK perlu diberi tambahan
kewenangan untuk melakukan penyelidikan TPPU di samping pertimbangan kemampuan
teknis dan sumber informasi keuangan yang cukup luas yang dimiliki oleh PPATK.
Namun demikian, PPATK tetap tidak perlu diberi wewenang melakukan penyidikan.
Sebab, apabila kewenangan penyidikan juga diberikan kepada PPATK, maka
mekanisme “check and balances” menjadi lemah akibat hampir seluruh
proses, mulai dari menerima laporan, melakukan audit kepatuhan, menganalisa,
menyelidik dan menyidik TPPU dilakukan oleh PPATK.
Dalam rangka pelaksanaan tugas PPATK untuk melakukan penyelidikan TPPU
dan meneruskannya kepada penyidik tindak pidana asal, PPATK perlu diberi
kewenangan untuk antara lain:
a.
menerima
laporan dan/atau informasi dari masyarakat tentang adanya dugaan tindak pidana
pencucian uang;
b.
meminta
keterangan kepada Pihak Pelapor dan pihak lain yang terkait dengan dugaan
tindak pidana pencucian uang;
c.
mencari
keterangan dan barang bukti;
d.
melakukan
penyadapan terhadap komunikasi yang dilakukan dalam rangka melakukan analisis
terhadap Transaksi keuangan yang diterima melalui berbagai media;
e.
menghentikan
sementara seluruh atau sebagian kegiatan Transaksi atas Harta Kekayaan yang
diketahui atau diduga merupakan Hasil Tindak Pidana;
f.
menghentikan
sementara Transaksi atas beban rekening yang diketahui atau diduga untuk
menampung hasil tindak pidana pencucian uang;
g.
memblokir
Harta Kekayaan yang diduga berasal dari tindak pidana;
h.
meminta
informasi perkembangan penyidikan yang dilakukan oleh penyidik tindak pidana
asal;
i.
meneruskan
hasil penyelidikan kepada penyidik; dan
j.
mengadakan
tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
3.
Pembentukan
Satuan Tugas Gabungan Penyidikan TPPU
Prof. Romli Atmasasmita, SH, LLM mengutarakan bahwa salah satu masalah
mendasar yang mendesak dan segera harus diselesaikan dalam pembangunan hukum
nasional adalah masalah penataan kelembagaan aparatur hukum yang masih belum
dibentuk secara komprehensif, sehingga melahirkan berbagai ekses. Antara lain,
egoisme
sektoral dan
menurunnya kerjasama antara-aparatur hukum secara signifikan. Hal ini
disebabkan oleh karena miskinnya visi dan misi aparatur hukum antara lain
tentang pengertian due process of law, impartial trial, transparency,
accountability, the right to counsel.
Mengingat TPUU merupakan kejahatan yang berdimensi lintas sektoral,
multi disipliner, berlapis, dan seringkali terjalin dalam suatu jaringan yang
rumit, sehingga seringkali menyulitkan bagi penyidik untuk melakukan
tugas-tugasnya tanpa meminta bantuan dari lembaga atau badan lain yang lebih
berkompeten dalam bidangnya, maka
pembentukan
Satuan Tugas Gabungan Penyidikan TPPU dirasakan sebagai suatu kebutuhan dalam
rangka pencegahan dan pemberantasan TPPU secara efektif dan efisien.
4. Asset Sharing
Dalam upaya untuk lebih mengefektifkan penegakan hukum TPPU diperlukan
dukungan financial yang cukup memadai, antara lain untuk peningkatan capacity
building dan biaya operasional aparat. Oleh karena itu, dalam revisi UU
TPPU ini perlu pengaturan mengenai pembagian aset hasil perampasan untuk
lembaga penegak hukum dan instansi terkait lainnya yang memiliki andil dalam
pengungkapan kasus, pemblokiran, penyitaan dan perampasan aset hasil rampasan.
Sebesar 75% (tujuh puluh lima per seratus) aset dari hasil perampasan diserahkan
kepada negara, sedangkan sisanya sebasar 25% (dua puluh lima per seratus)
dibagikan kepada lembaga penegak hukum dan instansi terkait lainnya yang
besarnya tergantung dari andil atau peranan masing-masing pihak dalam proses
perampasan aset dimaksud.
- PERLINDUNGAN BAGI PELAPOR DAN SAKSI
Salah satu akibat dari lemahnya penegakan hukum dan kurang komprehensifnya
pengaturan mengenai perlindungan saksi dan pelapor, adalah keengganan saksi dan
pelapor untuk melaksanakan kewajibannya. Saksi akan enggan untuk memberikan
kesaksian mengenai segala sesuatu yang ia dengar, ia lihat, dan ia alami
sendiri. Demikian pula halnya dengan Pelapor, juga akan enggan untuk melaporkan
mengenai apa yang diketahui terkait dugaan terjadinya tindak pidana meskipun
Undang-undang mewajibkan untuk melaporkannya kepada instansi yang berwenang. Kekhawatiran
di atas dapat dimaklumi ketika saksi dan pelapor telah nyata-nyata melaksanakan
kewajibannya namun yang didapat bukanlah suatu prestasi melainkan sebuah
ancaman baik ancaman karena sanksi hukum maupun fisik dan mental.
Oleh karena itu, walaupun UU TPPU yang berlaku telah mengatur mengenai
perlindungan khusus terhadap Pelapor dan Saksi, namun dalam penyempurnaan UU TPPU
nanti pengaturan mengenai perlindungan khusus ini tetap harus diatur lagi.
Pengaturan tersebut paling tidak adanya pernyataan bahwa terhadap saksi dan
pelapor diberikan perlindungan khusus oleh negara dari ancaman yang
membahayakan diri, jiwa dan/atau hartanya termasuk keluarganya dari pihak
manapun. Karena dengan pengaturan ini, paling tidak dapat menjadi dasar dalam
menyusun peraturan pelaksanaan pemberian perlindungan khusus ini. Lebih lanjut
pengaturan mengenai perlindungan yang sudah diatur dan tetap dipertahankan
dengan perluasan cakupan, dapat dikelompokkan menjadi sebagai berikut:
1.
Perlindungan
karena jaminan Undang-undang
Perlindungan karena jaminan undang-undang mengandung arti bahwa
perlindungan yang diberikan telah secara tegas diatur dalam UU TPPU
berupa pelepasan dari tuntutan pidana maupun perdata terhadap pihak-pihak
yang memiliki kewajiban pelaporan, saksi dan pelapor sebagai berikut:
- Lembaga atau pihak-pihak yang memiliki kewajiban pelaporan, pejabat, serta pegawainya tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana atas pelaksanaan kewajiban pelaporan (seperti Pasal 15 UU TPPU).
- Pelapor dan/atau saksi tidak dapat dituntut baik secara perdata atau pidana atas pelaporan dan/atau kesaksian yang diberikan (seperti Pasal 43 UUTPPU). Pelapor yang dimaksudkan dalam ketentuan ini adalah setiap orang yang melaporkan terjadinya dugaan tindak pidana pencucian uang, sedangkan saksi adalah setiap orang yang memberikan kesaksian dalam pemeriksaan tindak pidana pencucian uang.
Dengan demikian, pihak-pihak yang memperoleh perlindungan
secara hukum dalam UU TPPU adalah :
~ Lembaga yang memiliki kewajiban pelaporan (PJK,
profesi, serta penyedia barang dan
jasa)
~ Pejabat PJK
~ Pegawai PJK
~ Pelapor dugaan TPPU
~ Saksi TPPU
Kekebalan hukum dari gugatan secara perdata atau tuntutan
secara pidana terhadap pihak-pihak tersebut di atas dapat diberikan sepanjang
yang bersangkutan dalam melaksanakan pelaporan dan memberikan kesaksian
dilakukan dengan iktikad baik atau yang bersangkutan tidak sebagai pelaku
tindak pidana itu sendiri.
2.
Perlindungan
karena pelaksanaan UU TPPU
Munculnya perlindungan apabila pelaksanaan kewajiban oleh pelapor dan
pihak lain diterapkan secara konsisten. Dalam beberapa Pasal UU TPPU, diatur
mengenai kewajiban untuk tidak mengungkap identitas pelapor atau hal-hal lain
yang memungkinkan dapat terungkapnya identitas pelapor dengan ancaman pidana
bagi yang
melanggarnya.
Pengertian pelapor di sini adalah pihak pelapor karena melaksanakan kewajiban
pelaporan sebagaimana diatur UU TPPU.
Perlindungan yang diberikan karena pelaksanaan UU TPPU sebagai berikut:
- Direksi, pejabat, atau pegawai pihak pelapor dilarang memberitahukan kepada pengguna jasa keuangan atau orang lain baik secara langsung ataupun tidak langsung dengan cara apapun mengenai laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan yang sedang disusun atau telah disampaikan kepada PPATK (seperti Pasal 17 A ayat 1 UUTPPU)
- Pejabat atau pegawai PPATK, serta penyelidik/penyidik dilarang memberitahukan laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan kepada pengguna jasa keuangan yang telah dilaporkan kepada PPATK atau penyidik secara langsung atau tidak langsung dengan cara apapun (seperti Pasal 17A ayat 2 UUTPPU).
- Pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, hakim, dan siapapun juga yang memperoleh dokumen dan/ atau keterangan dalam rangka pelaksanaan tugasnya, wajib merahasiakan dokumen dan/atau keterangan tersebut kecuali untuk memenuhi kewajiban menurut undangundang (seperti Pasal 10A UUTPPU). Selanjutnya diatur pula bahwa sumber keterangan dan laporan transaksi keuangan mencurigakan wajib dirahasiakan dalam persidangan pengadilan.
- PPATK, penyidik, penuntut umum, atau hakim wajib merahasiakan identitas pelapor (seperti Pasal 39)
- PPATK, penyidik, saksi, penuntut umum, hakim, atau orang lain yang bersangkutan dengan perkara tindak pidana pencucian uang yang sedang diperiksa wajib merahasiakan identitas pelapor (seperti pasal 10)
- Di sidang pengadilan, saksi, penuntut umum, hakim, dan orang lain yang bersangkutan dengan tindak pidana pencucian uang yang sedang dalam pemeriksaan dilarang menyebut nama atau alamat pelapor, atau hal-hal lain yang memungkinkan dapat terungkapnya identitas pelapor (seperti Pasal 41). Lebih lanjut ditegaskan bahwa dalam setiap persidangan sebelum sidang pemeriksaan dimulai, hakim wajib mengingatkan saksi, penuntut umum, dan orang lain yang terkait dengan pemeriksaan perkara tersebut.
3.
Perlindungan
Khusus
Setiap orang yang melaporkan terjadinya dugaan tindak pidana pencucian
uang dan setiap orang yang memberikan kesaksian dalam pemeriksaan tindak pidana
pencucian uang, wajib diberi perlindungan khusus oleh negara dari kemungkinan
ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya, termasuk keluarganya.
Selanjutnya dalam ayat berikutnya mengamanatkan pengaturan lebih lanjut dalam
sebuah
peraturan
pemerintah mengenai tata cara pemberian perlindungan khusus dimaksud. Pengaturan
mengenai hal tersebut dalam UU TPPU telah diatur dalam Pasal 40 dan 42 UU TPPU
dan peraturan pelaksanaannya adalah Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 2003
tentang Tata Cara Perlindungan Khusus Bagi Pelapor dan Saksi Tindak Pidana
Pencucian Uang. Disadari bahwa terbatasnya cakupan pihak-pihak yang akan
memperoleh perlindungan khusus yang hanya pelapor dugaan tindak pidana
pencucian uang dan saksi tindak pidana pencucian uang, dalam PP No.57 tersebut tersebut
telah memperluas cakupan pelapor sehingga menjadi :
- Pelapor karena kewajibannya berdasarkan peraturan perundang-undangan menyampaikan laporan kepada PPATK tentang Transaksi Keuangan Mencurigakan atau Transaksi Keuangan yang Dilakukan Secara Tunai sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang;
- Pelapor karena secara sukarela melaporkan kepada penyidik tentang adanya dugaan terjadinya tindak pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang.
Sedangkan pengertian saksi adalah setiap orang yang dapat memberikan
keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu
perkara pidana pencucian uang yang didengar sendiri, dilihat sendiri, dan
dialami sendiri.
Lebih lanjut mengenai
teknis pelaksanaannya, telah dikeluarkan Peraturan KAPOLRI No. 17 Tahun 2005
tentang Tata Cara Perlindungan Khusus Terhadap Pelapor dan Saksi Dalam Tindak
Pidana Pencucian Uang.
Dalam peraturan ini diuraikan mengenai beberapa hal. Pertama,
perlindungan atas keamanan pribadi dari ancaman fisik dan mental. Kedua,
perlindungan terhadap harta. Ketiga, perlindungan berupa kerahasiaan dan
penyamaran identitas. Keempat, pemberian keterangan tanpa bertatap muka
(konfrontasi) dengan tersangka atau terdakwa pada setiap tingkat pemeriksanaan
perkara.
Adapun bentuk-bentuk perlindungan khusus yang dapat diberikan bagi
saksi dan pelapor adalah perlindungan atas keamanan pribadi, dan atau keluarga
Pelapor dan Saksi dari ancaman fisik atau mental. Perlindungan Khusus terhadap
Pelapor, Saksi dan Keluarganya meliputi:
(i)
perlindungan atas keamanan pribadi dari
ancaman fisik atau mental terhadap:
~ orang yaitu pribadi pelapor, saksi dan keluarganya;
~ tempat/lokasi, yaitu: rumah/penginapan/tempat tinggal;
tempat kerja/kantor/tempat persidangan; rute dan sarana transaportasi; dan
tempat-tempat kegiatan lainnya.
~ kegiatan, meliputi : sebelum, pada saat, dan sesudah proses
pemeriksaan perkara. Perlindungan Khusus ini diberikan terhadap kegiatan yang
diperkirakan mendapat gangguan dan/atau ancaman:
(ii) perlindungan
terhadap harta Pelapor dan Saksi meliputi harta bergerak dan tidak bergerak
yang paling memungkinkan menjadi sasaran gangguan pihak pelaku. Sasaran
perlindungan didasarkan atas permohonan Pelapor/ Saksi serta penilaian dari
pejabat Polri.
(iii)
perahasiaan
dan penyamaran identitas Pelapor dan Saksi dilaksanakan dengan merahasiakan dan
menyamarkan nama, tempat/tanggal lahir (usia), jenis kelamin, alamat, pekerjaan,
agama, status, pendidikan/gelar, kewarganegaraan, suku bangsa. Perahasiaan dan
penyamaran identitas dilakukan dengan membuat berita acara penyamaran identitas
berdasarkan permohonan penyamaran dari Pelapor/Saksi dan menyimpan berita acara
penyamaran tersebut. Selanjutnya berita acara penyamaran tersebut diserahkan
kepada Jaksa Penuntut Umum setelah perkara dinyatakan lengkap (P21).
(iv)
pemberian
keterangan tanpa bertatap muka dengan tersangka atau terdakwa pada setiap
tingkat pemeriksaan perkara meliputi tahap penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan
di pengadilan.
maaf bisa dikasih sumber naskah akademik UUTPPU nya dari mana?
BalasHapus